Sahabat MQ, dalam kehidupan sehari-hari, pasti ada hal-hal yang kurang berkenan di hati kita. Ketika melihat hal demikian, tak jarang kita melontarkan komentar langsung dari lisan ataupun dari dalam hati. Reaksi tersebut tidaklah salah. Sebab, hakikat komentar sendiri adalah suatu reaksi atau tanggapan karena adanya pernyataan yang berupa perkataan, maupun tulisan, baik yang bernuansa positif maupun negatif.
Sebenarnya, berkomentar baik berbentuk perkataan maupun tulisan tidak ada larangan. Selagi tidak menyalahi syariat yang berlaku. Bagi umat islam, sudah ada tuntunan dalam berkata yang seharusnya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, biasanya sebagai komentator, kita seringkali menyangkal bila keliru, dan akan membenarkan bila tepat sasaran dan disampaikan dengan cara yang tepat. Maka komentar itu akan memiliki nilai yang bermanfaat dan tidak ada masalah, jika disampaikan dengan cara-cara yang baik dan sesuai pada tempatnya.
Hadirnya media sosial dalam kehidupan sehari-hari, sedikit banyak membuka ruang lebih dalam hal berkomentar. Riuhnya interaksi di media sosial jangan sampai menjadi pemicu rusaknya silaturahim apalagi permusuhan, akibat dari memberikan komentar yang tidak diperkenankan.
Lalu bagaimanakah adab berkomentar?
Sahabat MQ, media sosial seakan tak bisa lepas dari keseharian kita. Interaksi melalui pesan teks menjadi sama halnya seperti mengobrol secara lisan di dunia nyata. Sehingga, perbincangan melalui teks pun harus tetap diperhatikan, khususnya saat memberikan komentar.
Ketika berinteraksi dalam dunia maya, kita hanya banyak berkomunikasi dan berdialog lewat tulisan. Tulisan pada dasarnya merupakan representasi dari buah pikiran dan duta lidah, ketika lisan dalam artian sebenarnya tidak mungkin berkata.
Sebagaimana kaidah yang disampaikan ulama, “tulisan (hukumnya) sebagaimana tulisan”. Sehingga perlu tetap hati-hati berkata-kata melalui tulisan, karena akan dicatat oleh malaikat dan dipertanggungjawabkan. Dalam berkomentar, jangan sampai menjadi mencela atau menghina, karena tentu akan mangakibatkan tanggapan kurang baik dan bisa mengakibatkan perpecahan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Hujuraat :11)
Dengan demikian kebebasan berbicara termasuk di medsos, bagi seorang muslim, akan dimanfaatkan untuk meluruskan yang salah dan memberikan masukan yang positif, saling menyemangati dengan semangat persaudaraan. Ucapan basa-basi harus mulai dihilangkan dari diri agar tidak menyakiti sesama.
Kita boleh berkomentar berdasarkan alasan yang kuat, susunan kalimat baik yang memiliki nilai obyektif dan bertujuan memberikan masukan yang tepat. Maka hal ini menjadikan orang yang dikomentari bertambah meningkatkan diri, dan berterima kasih.
Sahabat MQ, ‘Umar bin Khaththab berkata, “jangan menyangka buruk terhadap saudaramu apabila masih mungkin dimaknai dengan makna yang baik.”
Ketika berkomentar, hendaknya kita pun tidak berprasangka buruk, sehingga tidak mudah menghakimi dan menyudutkan orang yang dikomentari. Meluruskan sesuatu, hendaknya dilakukan dengan lembut, santun, hikmah dan sabar.
(Konten ini disiarkan dalam Segmen Mozaik Islam, setiap Sabtu – Ahad pukul 17.00 WIB)