Sebagaiamana yang kita ketahui dan yang termaktub dalam firmanNya, bahwasannya tujuan diciptakannya jin dan manusia, tiada lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah swt. Tuntunan ibadah telah Allah SWT samapaikan dalam firman-firman-Nya dan dalam Sunnah (ucapan, perkataan, ikrar rasulullah saw).

Dulu mungkin bisa dikatakan sanagt jelas dalam pelaksanaan ibadah, karena dulu sahabat ibadah melihat dan meniru langsung kepada rasulullah saw, bahakan kalaupun ada yang dirasa janggal atau keliru, bisa langsung ditanyakan kepada Rasulullah saw akan kebenarannya.

Maju ke zaman para sahabat dan tabi’in, ketika rasulullah saw sudah wafat, pada waktu itu banyak para perowi hadist yang masih hidup dan bisa dipastikan  kebenaran  sanad atau mata rantai hadist tersebut, karena pada waktu itu bisa dilihat langsung peribadi dan kesungguhan sang perowi hadistnya, karena tak sembarang orang yang dapat meriwayatkan hadist, tentunya orang yang benar-benar cerdas, shaleh, dan jarang melakukan dosa atau kehilapan kecil kepada Allah swt. Maka jelas dalam pelasksanaan ibadah kepada Allah mengikuti yang telah dianjurkan rasulullah saw dalam hadist-hadistnya

Namun bagaimana pada zaman sekarang, dimana kita tidak bisa langsung meilihat, meniru dan bertanya langsung kepada rasulullah saw akan pelaksanaan ibadah yang baik dan benar, kita pun pada zaman sekarang tidak bisa bertanya langsung pada perowi hadist akan ke shahihan haidst tersebut, karena perowi hadistpun sudah wafat. Walaupun sudah jelas sebenarnya tuntunan ibadah itu ada dalam alquran dan hadistnya. Dan insya Allah kebenaran al-quran dan hadist itu terjaga, karena Allahlah yang menjaganya.

Namun tak jarang yang diterima sebagian masyarakat bahkan sudah popular di masyarakat mengenai adanya ibadah-ibadah tambahan yang secara dalih tidak ada tuntunannya dari alqur’an dan hadist, dengan dalih meningkatkan kenikmatan dalam beibadah. Sedangkan dalam sutu keterngan bahwasannaya ibadah yang tidak ada tuntunan dalam alqur’an dan hadist adalah kebohongan. Sebagaimana  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Artinya :

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Artinya :

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).

Peristiwa pelaksanaan ibadah yang tujuannya ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah, namun tanpa adanya tuntunan yang benar, ini selaras dengan suatu kisah sahabat salman Alfarisi yang menegur sahabat abu darda. Berikut kisahnya :

Suatu hari  salman al farisi berkunjung ke rumah abu darda, disana ia melihat istri abu darda memakai pakaian yang compang camping, ketika salman menanyakan alasannya, istri abu darda menjawab, “saudaramu abu darda tidak lagi memiliki perhatian kepada dunia”.

Kemudian abu darda datang menyuguhkan makanan sambil berkata, “makanlah, sesungguhnya aku sedang shaum”,  salman al farisi kemudian menanggapi, “aku tidak mau makan kecuali jika engkau juga makan”, abu darda terperangah, tapi akhirnya ia menurut dan ikut makan.

Pada malam harinya, abu darda melakukan shalat. Salman yang melihatnya pun menegur abu darda dengan berkata, “tidurlah”. Abu darda menurut, namun tak lama setelahnya ia bangun dan shalat lagi, untuk kedua kalinya, salman meminta abu darda tidur dan kembali ia menurut,  menjelang malam berarkhir, salman membangunkan abu darda dan mereka berdua mengerjakan shalat tahajjud.

Setelah itu salman memberi nasihat, “sesungguhnya tuhanmu memiliki hak yang wajib kamu penuhi, dirimu memiliki hak yang wajib kamu penuhi, dan keluargamu juga punya hak yang wajib kamu penuhi, maka kepada yang masing-masinh punya hak, berikanlah haknya itu”

Sahabat mq, sejatinya yang berlebihan tidaklah baik, sekalipun itu dalam ibadah kepada Allah. Sebagaimana yang Allah swt firmankan dalam quran surat an nisa ayat 171:

يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ ۚ

Artinya :

“janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu…….”

Bersemangat dalam melaksanakan ibadah itu bagus, namun tetap patokannya supaya amlaan ibadah kita diterima yaitu syaratnya adalah ikhlas, dan I’tiba (ada tuntunan atau ada syari’atnya dari rasulullah saw). Karena jika kita beribadah tanpa ada tuntutan dan syariat yang dicontohkan oleh rosul, maka amalan tersebut adalah sia-sia, terlebih khawatir termasuk kepada kategori bid’ah, dan rasul saw mengencam bahwa bid’ah itu adalah kesesetan.