BANDUNG – Mahkamah Agung resmi mencabut Peraturan Pemerintah no. 99/2012 tentang pengetatan remisi koruptor. Guru Besar dan Pakar Hukum Pidana Edi Setiadi Mengatakan, sudah seharusnya Peraturam Pemerintah tersebut dicabut.
“Kalau kita masih ingin menganut Undang-undang no. 12/1995 tentang pemasyarakatan, di sana diatur tentang pembinaan terhadap warga binaan dan ada juga hak-hak narapidana,” kata Edi saat diwawancara oleh Reporter Mufida Ulfa dalam segmen ‘Sudut Pandang’ MQFM, Senin (01/11) kemarin.
Menurutnya, salah satu hak narapidana adalah mendapatkan remisi dan tidak disebutkan dalam undang-undang tersebut bahwa remisi hanya untuk golongan tertentu. “Itu hak semua narapidana,” katanya.
Edi juga mengakatan, peraturan tentang pengetatan narapidana narkoba, terorisme, dan korupsi ini sebetulnya bertentangan dengan UU no.12/1995. “Atau setidaknya bertentangan dengan konsiderat Undang-undang itu dibuat,” jelasnya.
Sejak dulu, Edi mengatakan, ia tidak sependapat dengan pemilahan hak-hak narapidana. Karena, tujuan pemasyarakatan bukan untuk menistakan pelaku tetapi memanusiakan pelaku.
“Tujuan pemasyarakatan ini membuat orang baik kembalo, salah satunya dengan adanya remisi ini. Dan untuk mendapatkan remisi ada syarat-syaratnya, tapi berlaku umum,” ujar Edi.
Menurutnya, remisi tetap harus diberikan kepada semua narapidana, termasuk koruptor. Karena, koruptor termasuk dalam warga binaan.
“Apakah dengan pengetatan remisi koruptor berkurang? Menjadi takut? Kan tidak. Tidak ada relevansinya antara pengetatan remisi dengan tingkat korupsi,” katanya.
Kita sepakat, korupsi adalah musuh bersama. Namun, untuk berhasil memberantas korupsi, kata Edi, diperlukan cara lain, bukan pengetatan remisi.