Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari literasi yaitu kemampuan menulis dan membaca. Lebih dari makna tersebut, literasi mencakup makna yang lebih luas yakni seperangkat kemampuan keterampilan individu dalam membaca, menulis, menghitung bahkan memecahkan masalah untuk menyeratakan semua kemampuan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Menurut EDC (Education Development Center) mengatakan bahwa literasi merupakan kemampuan individu menggunakan potensi yang dimilikinya, dan tidak sebatas kemampuan baca tulis. Sedangkan UNESCO menjabarkan makna dari literasi yaitu seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan yang dimaksud diperoleh, dari siapa keterampilan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya. Jadi luas dari pada itu, literasi mencakup berbagai bidang atau potensi diri yang dapat kita manfaatkan untuk kehidupan sehari-hari.
Fakta yang sangat ironi, UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia mendapatkan urutan kedua dari bawah mengenai literasi dunia. Minat baca Indonesia sangat rendah, dalam data UNESCO minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Dari 1.000 orang Indonesia, Cuma 1 orang yang rajin membaca.
Sahabat MQ, sebenarnya literasi terdapat beberapa jenis seperti, literasi media, literasi digital inklusif, literasi informasi, literasi saintifik, literasi hukum, literasi ketatanegaraan, literasi ekonomi makro dan literasi sastra. Nah, semua literasi tersebut bisa memberikan manfaat bagi kehidupan sehari-hari kita. Apapun keilmuannya, kita akan mendapatkannya dengan membaca.
Penyebab masyarakat Indonesia krisis literasi :
- Belum ada kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini. Anak-anak cenderung mengikuti kebiasaan orang tuanya, maka dari itu peranan orang tua yang paling penting dalam membiasakan kebiasaan membaca.
- Harga buku yang relatif mahal di Indonesia, sehingga orang-orang lebih memprioritaskan hal lain dari pada membeli buku.
- Akses ke fasilitas pendidikan yang belum rata dan minimnya sarana kualitas pendidikan. Secara tidak langsung, hal tersebut menghambat perkembangan kualitas literasi di Indonesia.
- Pesatnya perkembangan teknologi, seperti gawai (gadget), handphone, dan televisi. Orang-orang sekarang lebih sering bermain games dan media sosial dari pada literasi.
Sekarang banyak orang tua yang memberikan gawai agar anaknya tidak rewel dan mau makan. Tetapi nyatanya itu adalah cara yang salah. Psikolog anak dan Remaja Hafidzul Hakim menjabarkan bahwa anak usia 0-2 tahun seharusnya belum terpapar oleh handphone. Karena hal tersebut dapat mengurangi tingkat fokus. Bahkan anak-anak akan cepat lelah dengan seringnya melihat gamabr yang terlalu cepat bergerak.
Dengan membaca, secara tidak langsung kosa kata anak akan bertambah sehingga dapat memperlancar kemampuan belajar anak, menambah pengetahuan, menambah motivasi, meningkatkan kreativitas dan dapat mempengaruhi karakter anak. Sedangkan anak-anak yang kesehariannya hanya bermain youtube ,games online dan media sosial mereka berpotensi besar menjadi anak yang manja, malas, egois dan individualis karena keseringan menggunakan gawai.
Menurut UNESCO, dampak rendahnya tingkat literasi dapat menyebabkan dampak sebagai berikut :
- Tingginya kecelakaan kerja dan sakit akibat pekerjaan
- Munculnya persoalan kesehatan masyarakat dengan literasi rendah juga umumnya memiliki kesadaran rendah akan kebersihan makanan dan gizi buruk dan memiliki perilaku seksual beresiko tinggi.
- Tingginya angka putus sekolah dan pengangguran yang berdampak pada rendahnya kepercayaan diri.
- Banyaknya kriminalitas, seperti penyalahgunaan obat dan alkohol, kemiskinan bahkan kesenjangan.
Cara yang dapat dilakukan agar gemar membaca khususnya bagi anak-anak yaitu harus adanya contoh yang baik dari orang tua lebih tepatnya orang yang lebih tua dalam keluarga tersebut. “children she children do” apa yang anak lihat akan dia contoh. Maka orang yang lebih tua harus menjadi teladan bagi anaknya.
Di Indonesia banyak sekali orang tua yang menginginkan anaknya pinter-pinter. Sehingga anak yang masih balita pun sudah diajarkan membaca dan berhitung. Ketika anaknya sudah pandai membaca, orang tua seolah lepas tanggung jawabnya. Orang tua hanya berpikir yang penting anaknya sudah dapat membaca dan berhitung dengan lancar sisanya diserahkan kepada sekolah.
Padahal kita harus membuat anak suka membaca buku. Bisa membaca dan suka membaca adalah suatu hal yang berbeda. Ketika anak bisa membaca, belum tentu dia suka membaca. Maka peranan orang tua jangan sampai berhenti hingga titik anak bisa baca tetapi harus berusaha agar anak suka baca.
Buat anak-anak penasaran dengan ilmu-ilmu yang ada di sekitar mereka. Banyaknya pertanyaan yang ada di benak mereka biarkan mereka mencari sendiri jawabannya dalam buku. Jangan sampai kita terus menyuapi untuk menjawab rasa penasaran mereka tanpa meyuruhnya mencari tahu sendiri. Hilangkan paradigma bahwa membaca adalah urusan sekolah. Kita kenalkan bahwa buku adalah tempat mendapatkan jawaban dari pertanyaan kita.