Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk melakukan interaksi dengan individu yang lain dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannnya. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia tidak bisa tergantung dengan dirinya sendiri melainkan juga tergantung pada orang lain yaitu dengan perilaku tolong menolong. Tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Ada kalanya manusia dihadapkan pada kondisi memberi pertolongan, dan pada saat berikutnya dalam kondisi membutuhkan pertolongan. Tolong menolong sudah merupakan ciri dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun demikian, tidak selamanya seseorang yang membutuhkan pertolongan akan mendapatkan apa yang diinginkan. Karena orang yang diharapkan bisa memberikan pertolongan barang kali tidak sedang berada didekatnya atau bahkan yang bersangkutan juga sedang membutuhkan pertolongan.
Tolong menolong sesama manusia merupakan sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Setiap manusia bebas dalam hal memilih mata pencarian yang dikehendaki dan akan memperoleh bagian atas usahanya. Manusia diciptakan oleh Allah di muka bumi untuk mengisi dan memakmurkan hidup dan kehidupan ini sesuai dengan tata aturan dan hukum-hukum Allah. Manusia secara qudrati adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, yaitu manusia saling membutuhkan satu sama lain, baik dalam bertukar pikiran, berinteraksi, dan melengkapi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Allah swt berfirman dalam QS. al-Maidah ayat 2 tentang tolong menolong:
ۘ وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
Terjemah: “ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Maidah 2).
Allah swr mengingatkan kepada hamba-Nya untuk saling menolong dalam kebajikan dan takwa. Menolong seseorang harus dilandasi dengan rasa ikhlas dan tanpa pamrih. Luruskan niat karena Allah ketika ingin menolong seseorang, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-An’am: 162-163:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Terjemah: “Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam,”
لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَاۡ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
Terjemah:”Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama berserah diri (muslim).”
Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” dalam ayat di atas ialah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata, sedangkan yang dimaksut dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Salah satu hadits Rasulullah SAW yang memberikan perumpamaan yang sangat indah tentang keikhlasan. Diriwayatkan dari Abu Musa r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda:
Perumpamaan Allah Azza Wa Jalla mengutusku menyampaikan petunjuk dan ilmu adalah seperti titisan hujan yang telah membasahi bumi. Manakala bumi tersebut sebahagian tanahnya ada yang subur sehingga dapat menyerap air serta menumbuhkan rerumput dan sebahagian lagi berupa tanah-tanah keras yang dapat menahan air, lalu Allah memberi manfaat kepada manusia sehingga mereka dapat meneguk air, memberi minum dan menggembala ternaknya di tempat itu. Ada juga titisan air hujan tersebut jatuh di tanah yang lain, iaitu tanah gersang yang sama sekali tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput rampai. Manakala itu semua adalah perumpamaan orang yang bijak pandai tentang agama Allah dan memanfaatkannya setelah aku diutus oleh Allah. Maka baginda tahu dan mau mengajar apa yang diketahuinya dan juga perumpamaan orang yang keras kepala yang tidak mau menerima petunjuk Allah yang keranaNya aku diutuskan” (HR Abu Musa r.a.)
Perihal keikhlasan yang dijabarkan dalam hadits di atas adalah bahwa hati yang ikhlas adalah hati yang subur. Hati yang mampu menampung tetesan-tetesan hujan untuk kemudian mampu menumbuhkan tanaman dan dimanfaatkan oleh manusia. Hati yang ikhlas adalah hati yang mampu memanfaatkan semua potensi-potensi cinta, takut, benci, atau bahkan marah untuk kemudian ditempatkan menjadi intuisi yang cerdas dan tajam.
Sahabat MQ, oleh sebab itu marilah tanamkan rasa ikhlas di hati karena Allah swt. sebab hanya Allah lah tujuan yang paling indah dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Menolong bukan untuk dipuji atau dibalas dengan hal yang serupa atau lebih melainkan untuk mendapatkan hati disisi Allah. Semoga rasa ikhlas senantiasa menyelimuti hati sahabat MQ setiap saat dalam hidup.