MQFMNETWORK.COM, Bandung – Wacana program makan siang gratis yang sebelumnya diusung oleh capres-cawapres no. urut 2 mendapat sorotan dari Bank Dunia. Bank Dunia mewanti-wanti agar Indonesia mampu menjaga batas defisit APBN dalam memnyusun anggaran program tersebut. Program yang diproyeksikan berjalan pada 2025 itu, diketahui telah menjajaki simulasi pada akhir Februari lalu, di salah satu sekolah daerah Banten.

Diketahui anggaran yang diperlukan untuk melakukan program tersebut mencapai ratusan triliun rupiah. Para pengamat perekonomian mengaku khawatir, dengan anggaran dana yang begitu besar, program tersebiu dapat mendorong defisit lebih tinggi dari yang pemerintah targetkan sebelumnya.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto menilai bahwa program tersebut akan memakan anggaran ratusan triliun rupiah. Program tersebut saat ini masih dalam proses pengkajian dan jika dilihat dengan anggaran yang sangat besar tersebut, maka dapat tergambar bahwa APBN tidak dapat mengampu program tersebut.

Menurutnya, saat ini Indonesia juga harus mempertimbangkan alokasi APBN yang akan digunakan. Karenanya terdapat anggaran yang tidak dapat disubsidi atau dialokasikan hanya pada satu program saja. Seperti halnya belanja operasional pegawai yang tidak bisa dihilangkan, terlebih lagi alokasi dana untuk Pendidikan di tanah air. Jika dilihat tahun ini saja, meurut Eko, Indonesia sendiri untuk bayar hutang negara sudah mencapai angka sekitar 490 triliun rupiah. Hal tersbeut juga nantinya akan berdampak pada transfer atau alokasi dana ke daerah-daerah yang tersebar di Indonesia.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto

Program yang dicanangkan terkait makan siang gratis tersebut, belum terlihat dengan jelas bagaimana gambarannya dan belum ada efesiensi terhadap APBN Indonesia. Perlunya perencanaan yang matang diawal menjadi hal yang sangat krusial, karenanya kita juga perlu menitikberatkan kepada membangkitkan ekonomi domestik dan tidak bertumpu pada impor.

Menurutnya, jika terdapat kebutuhan yang meningkat maka akan bertumpu pada adanya impor dalam rangka menstabilkan. Namun harapannya tidak demikian, karena seharusnya dengan adanya permintaan yang meningkat, maka perlu diberdayakan UMKM yang ada disekitar bukan justru melakukan impor besar-besaran.

Adanya peringatan dari Bank Dunia juga harus menjadi respons yang perlu segera ditindaklanjuti. Eko menuturkan, jangan sampai satu program tersebut melebar defisit, harus dilihat juga sejauh mana efektifitas dalam konteks pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Karenanya akan berdampak pada berbagai sektor yang mendukung terjadinya pertumbuhan ekonomi.