Aku teringat kisah Mush’ab bin Umair, sahabat rasul yang kala itu seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya membuatnya tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan nikmat.
Mush’ab bin Umair hidup dilingkungan jahiliyah, menyembah berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian. Lalu Allah beri cahaya dihatinya, sehingga ia mampu membedakan mana agama yang lurus dan agama yang menyimpang. Manakah ajaran seorang nabi dan mana yang hanya warisan nenek moyang. Dengan sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk islam. Ia mendatangi Nabi shalallahu alaihi wa sallam di rumah Al-Arqam dan menyatakan keimanannya.
Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislaman sebagaimana sahabat yang lain. Hal ini untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keaadaan sulit tersebut, ia tetap terus menghadiri majelis Rasulullah untuk menambah pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk.
Suatu hari, Utsman bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, Ibu Mush’ab kecewa, dan ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus berdiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya.
Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu, lalu dia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan, kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya.”
Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka. Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega menyiksanya. Warna kulitnya berubah karena luka luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.
Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas yang ia nikmati, baik pakaian, makanan, minuman, semuanya berubah.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasalam di masjid, lalu munculah Mush’ab bin Umair dengan menggunakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika rasulullah shalallahu alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu sebelum memeluk Islam dibandingkan dengan keadaan sekarang.”
Saad bin Abi Waqqash radhiyallahu‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami, keadaanyapun berubah. Kulihat kulitnya pecah pecah mengelupas dan ia merasa tertatih tatih karena hal itu sampai sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur busur kami, lalu kami papah dia.”
Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan ia sampai tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita.