Tiga tahun sebelum hijrah, tepatnya pada Syawal tahun 10 kenabian, Rasulullah shallallahu alaihi wasalam melakukan perjalanan ke Thaif untuk mengajak kabilah Tsaqif, penguasa Thaif, untuk meminta pertolongan dan perlindungan.

Perjalanan ini dilakukan tidak lama setelah wafatnya istri nabi, Khadijah radhiyallahu’anha pada 619 M dan wafatnya Abu Thalib, pelindung utama sekaligus paman Rasulullah shallallahu alaihi wasalam pada 620 M.

Meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah yang disegani kaum musyrikin Quraisy, membuat mereka semakin berani mengganggu Rasulullah shallallahu alaihi wasalam. Oleh karena itu, jika warga Kota Thaif mau menerima Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, kota ini mungkin akan menjadi tempat berlindung kaum muslimin dari kekejaman kaum musyrikin Makkah.

Untuk menghindari penganiayaan yang lebih berat dari kaumnya, perjalanan Rasulullah ke Thaif dilakukan secara diam-diam dengan berjalan kaki. Rasulullah bersama Zaid bin Haritsah berjalan kaki sejauh 60 mil.

Setiap melewati kabilah dalam perjalanannya, Nabi shallallahu alaihi wasalam mengajak mereka kepada Islam, namun tak satu pun yang menjawab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Thaif selama sepuluh hari. Beliau tidak meninggalkan seorang tokoh pun dari mereka kecuali beliau mendatangi dan mengajaknya kepada Islam.

Rasulullah berada di Thaif selama 10 hari. Namun, perlakuan yang diberikan penduduk Thaif ternyata sangat kasar. Saat itu, kaum tsaqif melempari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dengan batu sehingga kakinya terluka. Melihat serangan dari penduduk Thaif ini, membuat Zaid bin Haritsah membela dan melindunginya, tapi kepalanya juga terluka akibat terkena lemparan batu. Akhirnya Rasulullah shallallahu alaihi wasalam berlindung di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah.

Dalam keadaan sedih kala itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasalam memanjatkan doa kepada Allah,

Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Zat yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang, Engkaulah pelindung bagi yang lemah dan Engkau jualah pelindungku. Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?

Ya Allah, jika Engkau tidak murka kepadaku maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan aku berlindung di akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkehendak atas segala sesuatu, sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.

Doa ini menggambarkan betapa berat cobaan yang dihadapi Rasulullah shallallahu alaihi wasalam. Namun, beliau tetap ridha, ikhlas, sabar, dan tidak pernah berputus asa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasalam pulang dengan wajah bersedih. Lalu ketika di Warnust Tsa’alib, Rasulullah mengangkat kepalanya, tiba-tiba beliau berada di bawah awan yang sedang menaunginya. Rasulullah memperhatikan awan itu, ternyata ada malaikat jibril.

Malaikat Jibril memanggil Rasulullah dan berseru, “Sesungguhnya Allah azza wa jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah azza wa jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka.”

Lalu malaikat penjaga gunung memanggil dan mengucapkan salam kepada Rasulullah, lalu berkata, “Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan akhsabain (dua gunung besar) di Makkah.”

Tahukah apa yang dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Beliau menjawab, “Tidak. Namun aku berharap supaya Allah azza wa jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun juga.”