Rasulullah baru saja selesai berdzikir dan berdo’a ketika Fatimah datang.

“Assalamu’alaikum ya Rasulullah,” salam Fatimah dari luar.

Rasulullah segera membukakan pintu, “Walaikumsalam, Fatimah,” jawab Rasulullah gembira. Wajahnya selalu berseri setiap kali menyambut kedatangan putrinya itu. Dipeluknya Fatimah dengan penuh kasih sayang.

Lalu, Rasulullah menangkap ada kedukaan di wajah putri yang amat dicintainya itu.

“Ada apa putriku?” tanya Rasulullah.

“ Ya Rasulullah, sudah berhari – hari kami sekeluarga kelaparan. Tidak ada makanan yang kami punya,” keluh Fatimah.

Rasulullah tersenyum sembari berkata, “kemarilah, duduklah di dekatku,” ucap Rasulullah seraya mengeluarkan tangannya.

Fatimah mendekat. Rasulullah memegang tangan Fatimah. Didekatkanya tangan Fatimah ke perut rasul. Fatimah tersentak, ada batu – batu di balik jubah ayahnya.

Fatimah mengangkat wajah menatap Rasulullah. Tak kuasa Fatimah melanjutkan kata – katanya. Air matanya seolah menyekat tenggorokannya. Bila Rasulullah meletakkan batu – batu diperutnya, berarti Rasulullah dalam  keadaan yang sangat lapar. Batu – batu itu untuk mengganjal agar rasa lapar tidak terlalu menyakitkan.

Rasulullah tersenyum kepada putri kesayangannya, “maafkan, nak, di rumah ini pun tidak ada yang bisa dimasak,” kata Rasulullah.

Melihat senyum ayahnya yang begitu indah, Fatimah menjadi tenang. Segera ia menghapus air matanya. Ia sangat malu sudah mengeluhkan kesusahannya. Padahal, ayahnya sendiri dalam keadaan susah. Fatimah pun pulang kerumahnya dengan perut yang tetap lapar, namun hatinya begitu bahagia.

Setelah Fatimah pulang, Rasulullah membaringkan badannya di atas sehelai tikar. Baru beberapa saat beliau memejamkan mata, terdengar suara orang mengetuk pintu. Rasulullah pun bangkit membuka pintu. Tamu tersebut ternyata Umar bin Khattab.

Umar terkejut memandangi wajah rasul yang tampak pucat, “ya Rasulullah, apakah kau sakit?”

Rasul menggeleng sambil tersenyum. Senyum itu segera menghapus keletihan di wajahnya.

Rasulullah mempersilahkan umar duduk diatas tikar yang tersedia. Umar baru mengetahui kalau ia sudah mengganggu tidur Rasulullah. Tampak jelaslah bekas anyaman tikar di wajah Rasulullah. Beginikah tempat berbaring rasul Allah itu? tikar itu sudah usang. Selain  benda itu, tidak ada lagi perabotan yang lainnya. Hati umar sedih.

“Ya Rasulullah, mengapa hidupmu begitu kekurangan? Raja dan kaisar hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Anda, nabi dan rasul yang besar mengapa menjalani hidup semiskin ini?” tanya Umar dengan mata berkaca – kaca.

Rasulullah segera memotong perkataan umar, “Wahai umar! Apakah jika aku tidak  memiliki harta dan hidup seperti ini, berarti suatu kerugian bagiku? Apakah hanya karena benda – benda duniawi kita merasa kaya dan beruntung? Semua itu bukanlah sesuatu yang pantas dibandingkan,” jelas Rasulullah.

Umar terpaku, tidak membatah perkataan rasul, “Ketahuilah, suatu hari Israfil datang kepadaku, menawarkan dua pilihan. Aku disuruh memilih apakah menjadi ingin menjadi nabi dan raja atau menjadi nabi dan hamba? Lalu aku memilih  menjadi nabi dan hamba,” kata Rasulullah.

Ya, Rasulullah telah memilih menjadi seorang nabi yang tidak punya kekuasaan dalam pemerintahan. Beliau tetap rendah hati meskipun memiliki umat yang mendiami bumi ini.

Rasulullah melanjutkan, “jika saat itu aku memilih menjadin nabi dan raja, sudah pasti gunung- gunung akan berubah menjadi emas dan permata bagiku.”

Umar terdiam, penuh ketakjuban terhadap sikap mulia Rasulullah. Kesembongan merupaka dosa terbesar. Kesombongan memiliki berbagai bahaya , maka tidak heran jika ia merupakan dosa terbesar. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ jika kamu tidak berbuat dosa, sungguh aku mengkhwatirkan kamu pada perkara yang lebih  besar dari itu,  yaitu ujub, atau kagum terhadap diri sendiri.”