kades

MQFMNETWORK.COM, Bandung – Setelah satu dasawarsa penggunaan aturan desa melalui undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan kedua atas undang-undang tersebut pada rapat paripurna DPR. Pengesahan terhadap RUU tersebut, membuat jabatan kepala desa resmi diperpanjang menjadi delapan tahun dan maksimal dua periode. Sebelumnya, dalam UU yang lama, masa jabatan kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa, hanya enam tahun dan dapat menjabat paling banyak tiga kali.

Selain penambahan masa jabatan, terdapat empat poin lainnya yang paling disoroti pada revisi UU desa. Diantaranya adalah penetapan pasal 26 ayat 3 tentang penambahan hak kepala desa untuk menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan penerimaan lainnya yang sah. Kemudian pasal 72 tentang alokasi anggaran dana desa sebesar 20 persen dari dana transfer daerah. Lalu terdapat juga pasal 74 terkait insentif yang diberikan kepada Rukun Tetangga (RT) ataupun Rukun Warga (RW) sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Serta pada pasal 34A terkait dengan penunjukkan kepala desa secara aklamasi bagi calon tunggal.

Pakar Otonomi Daerah Indonesia dan Direktur Institut Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A mengungkapkan perpanjangan masa jabatan kepala desa urgensinya tidak begitu mendesak dengan adanya RUU yang disahkan saat ini. Kepala desa pada umumnya dengan jabatan yang 6 tahun sudah cukup panjang dalam menjalankan kepemimpinannya di tingkat desa.

Pakar Otonomi Daerah Indonesia dan Direktur Institut Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A

Prof. Djohermansyah mengatakan, bahwa yang terlihat saat ini adalah para kepala desa mengusulkan untuk menambah masa jabatan. Seharusnya, yang unjuk rasa adalah masyrakat di berbagai desa tersebut bukan kepala desa yang yang memiliki jabatan. Hal tersebut dapat mengindikasikan bukan masyarakat yang menginginkan adanya masa jabatan kepala desa yang lebih lama, tapi para kepala desa yang memiliki hasrat melenggangkan perpanjangan masa jabatannya.

Menurut Prof. Djohermansyah, dalam dunia pemerintahan masa jabatan 2 priode merupakan salah satu bentuk demokrasi yang baik dengan satu priodenya maksimal 4 sampai 5 tahun. Karenanya, adanya reformasi salah satuny untuk membatasi masa jabatan para pemimpin negara Indonesia. Adanya perpanjangan masa jabatan dapat dikatakan sebagai serakah kekuasaan dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan.

Jika melihat dari sisi untung dengan diterapkannya perpanjangan masa jabatan, Prof. Djohermansyah berpandangan hanya ada dua keuntungganya. Yang pertama, pemerintahan dinilai akan lebih stabil karena masa jabatannya panjang. Dan yang kedua adalah program-program pembangunan desa akan lebih terjamin.

Namun dari keuntugan tersebut, muncul efek negatif yang akan dirasakan masyrakat. Karena masa jabatan yang panjang, potensi korupsi kepala desa akan semakin meningkat karena merasa memiliki kekuasaan untuk bertindak. Adanya permainan di ranah uang dana desa untuk alokasi program-program pembangunan desa juga menjadi hal yang patut diperhatikan.

Tidak hanya itu, dengan adanya perpanjangan masa jabatan kepala desa, maka demokrasi desa bisa mati. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya kesempatan bagi orang lain untuk menjadi kepala desa. Sehingga, suburnya nepotisme di tingkat desa juga perlu dicermati. Kita dapat melihat adanya kerabat yang jadi perangkat desa, ditempatkan pada bagian-bagian strategis perangkat desa. Dampaknya akan berpengaruh pada budaya yang muncul ditengah masyarakat, seperti gotong royong akan mati serta semangat keterlibatan masyarakat akan sangat berkurang.