kuhp

MQFMNETWORK.COM | Pemerintah Indonesia tengah bersiap melakukan transformasi besar dalam sistem pemidanaan melalui penerapan pidana kerja sosial sebagai salah satu bentuk pidana pokok. Hal ini tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, yang rencananya akan mulai berlaku pada tahun 2026 mendatang. Pidana kerja sosial diproyeksikan menjadi alternatif hukuman yang tidak hanya lebih humanis, tetapi juga berpotensi mengurangi overkapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) yang selama ini menjadi masalah laten di Indonesia.

Pidana Kerja Sosial: Alternatif Pemidanaan yang Lebih Humanis

Pidana kerja sosial adalah bentuk pidana pokok yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana ringan, khususnya yang diancam dengan pidana penjara kurang dari lima tahun. Ketentuan ini memungkinkan hakim untuk menjatuhkan hukuman kerja sosial paling lama enam bulan, atau menggantinya dengan denda maksimal kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta.

Konsep ini bertujuan untuk menghadirkan keadilan yang tidak melulu berorientasi pada pemenjaraan, terutama bagi pelanggaran hukum dengan tingkat ancaman rendah. Di berbagai negara maju, pendekatan ini sudah menjadi praktik yang lazim, sejalan dengan prinsip bahwa penjara bukan satu-satunya cara untuk memberi efek jera.

Dampak Terhadap Overkapasitas Lapas

Berdasarkan data tahun 2023, terdapat 526 lapas di seluruh Indonesia dengan kapasitas ideal hanya sekitar 100.000 orang, sementara jumlah narapidana mencapai lebih dari 140.000 orang. Tingkat overkapasitas lapas nasional mencapai lebih dari 89%. Angka ini mencerminkan tekanan berat terhadap sistem pemasyarakatan yang berdampak pada pembinaan narapidana, kualitas layanan, dan potensi pelanggaran HAM.

Melalui penerapan pidana kerja sosial, Kementerian Hukum dan HAM memprediksi bahwa tingkat overkapasitas bisa dikurangi hingga 20%. Hal ini tentu bergantung pada sejauh mana pidana kerja sosial diterapkan secara efektif dan proporsional, khususnya terhadap pelaku tindak pidana ringan yang selama ini masih dijatuhi pidana penjara.

Peran Pemasyarakatan dan Pemerintah Daerah

Dalam sistem yang dirancang ini, lembaga pemasyarakatan tidak lagi menjadi tempat eksekusi pidana secara langsung bagi pelaku pidana ringan, tetapi berperan sebagai pembimbing kemasyarakatan (PK). Tugas utama mereka adalah melakukan pengawasan dan pendampingan selama proses kerja sosial berlangsung. Sementara itu, keputusan mengenai penempatan kerja sosial sepenuhnya berada di tangan hakim.

Agar program ini berjalan optimal, sinergi antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Kemenkumham, serta pemerintah daerah—baik kota maupun kabupaten—menjadi sangat penting. Sejumlah daerah bahkan telah melakukan uji coba kerja sosial, seperti kegiatan membersihkan lingkungan di wilayah Jakarta Selatan.

Landasan Filosofis dan Tujuan Pemidanaan

Penerapan pidana kerja sosial sejatinya selaras dengan tujuan pemidanaan nasional, yaitu resosialisasi dan pembinaan pelaku tindak pidana agar kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif. Pendekatan ini sejalan pula dengan prinsip keadilan restoratif, di mana penanganan perkara tidak hanya berorientasi pada hukuman, tetapi juga pemulihan hubungan sosial.

Pidana kerja sosial ditujukan hanya bagi kejahatan-kejahatan ringan dan tidak diberlakukan secara sembarangan. Hakim dituntut mempertimbangkan latar belakang terdakwa secara menyeluruh, termasuk kondisi sosial, psikologis, dan kemungkinan untuk menjalani pembinaan di luar penjara. Konsep ini mendekati praktik hukum dalam sistem Islam, di mana penyelesaian perkara dapat melibatkan pemaafan dari korban atau pembayaran denda sebagai bentuk keadilan yang lebih berimbang.

Kesiapan Regulasi dan Infrastruktur Pendukung

Meski KUHP baru telah menjadi payung hukum utama, implementasi pidana kerja sosial masih memerlukan penguatan regulasi turunan. Diperlukan peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Kepres), hingga peraturan teknis dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan guna menjabarkan tata cara pelaksanaan pidana kerja sosial secara rinci.

Selain regulasi, ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia juga menjadi faktor penting. Petugas pembimbing kemasyarakatan perlu dilatih secara profesional agar mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan pendekatan rehabilitatif. Pemerintah juga perlu memastikan ketersediaan tempat dan jenis pekerjaan sosial yang sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan rehabilitasi terdakwa.

Mendorong Evaluasi Jangka Panjang

Indikator keberhasilan penerapan pidana kerja sosial tidak dapat dilihat secara instan. Evaluasi perlu dilakukan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, meliputi dampak terhadap pengurangan overkapasitas, tingkat pengulangan tindak pidana, hingga efektivitas pembinaan sosial terhadap pelaku. Evaluasi ini menjadi dasar untuk mengukur seberapa efektif pidana kerja sosial sebagai bagian dari sistem pemidanaan yang lebih inklusif dan transformatif.

Kesimpulan

Pidana kerja sosial merupakan langkah progresif dalam reformasi hukum pidana Indonesia. Melalui penerapannya, diharapkan sistem pemidanaan menjadi lebih proporsional, manusiawi, dan efektif dalam mendorong resosialisasi pelaku kejahatan. Di sisi lain, program ini berpotensi mengatasi permasalahan klasik berupa overkapasitas lapas yang selama ini membebani sistem pemasyarakatan.

Untuk mewujudkan hal ini, perlu komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan: pemerintah, aparat peradilan, pemasyarakatan, dan masyarakat luas. Transformasi hukum tidak hanya terletak pada perubahan undang-undang, tetapi juga dalam implementasi yang konsisten dan berbasis nilai keadilan sosial.


Program: Bincang Sudut Pandang
Narasumber: Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H, M.H