
- Kajian MQ Pagi
Akhlak seseorang adalah mahkota dirinya, dan salah satu alat ukur paling nyata dari akhlak itu adalah lisannya. Lisan ibarat cermin yang memantulkan keadaan hati dan jiwa. Apa yang terucap dari mulut sesungguhnya lahir dari isi hati. Maka, bila hati baik, ucapan pun akan penuh kebaikan. Sebaliknya, bila hati kotor, lisannya akan mudah mengeluarkan kata-kata yang buruk.
Setiap kali kita berbicara, sesungguhnya kita sedang memperlihatkan siapa diri kita. Saat berbicara, terlihat kualitas akhlak kita, seberapa kuat iman kita, seberapa bersih hati kita. Lisan tidak pernah berbohong, karena darinya terukur kualitas seseorang. Oleh sebab itu, dalam Islam menjaga lisan termasuk bagian dari menjaga iman. Rasulullah SAW banyak mengingatkan bahwa kebinasaan manusia seringkali datang bukan dari perbuatan besar, melainkan dari ucapan yang tidak terjaga.
Dalam kehidupan sehari-hari, jika kita perhatikan, ada beberapa tingkatan manusia yang bisa dikenali dari lisannya:
-
- Orang yang utama
Tingkatan tertinggi adalah mereka yang benar-benar menjaga ucapannya. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Orang yang utama hanya mengucapkan sesuatu yang membawa manfaat: menenangkan, menasihati, menebarkan ilmu, atau memberi kebahagiaan bagi orang lain. Dan bila tidak ada kebaikan yang bisa diucapkan, ia memilih diam. Diamnya bukan karena tidak mampu berbicara, tetapi karena mampu mengendalikan diri.
- Orang yang utama
-
- Orang yang biasa
Orang ini tidak mengucapkan kata-kata buruk, tetapi perkataannya seringkali hanya berputar pada cerita-cerita kejadian, peristiwa, atau hal-hal sehari-hari. Ia tidak menyakiti, namun lisannya juga tidak selalu menginspirasi. Perkataannya netral, biasa saja, tidak berbahaya tetapi juga tidak banyak menambah nilai.
- Orang yang biasa
-
- Orang yang rendah hati
Ciri khasnya adalah lisannya senantiasa basah dengan dzikrullah. Ucapannya penuh ingat kepada Allah, menasihati dengan lembut, mengucapkan doa untuk orang lain, serta menundukkan ego dalam setiap kata-katanya. Ia menyadari bahwa lisan adalah amanah, sehingga digunakannya untuk kebaikan. Inilah orang yang rendah hati, yang lisannya menjadi cermin kebeningan jiwa.
- Orang yang rendah hati
-
- Orang yang dangkal
Inilah tingkatan terendah, Orang dangkal dalam berbicara cenderung menjadikan dirinya sebagai pusat pembicaraan. Obrolannya selalu kembali pada dirinya: pencapaiannya, kebanggaannya, keluhannya, bahkan masalah pribadinya. Tidak ada yang ia pikirkan dari obrolan itu selain dirinya. Akibatnya, ucapannya jarang memberi manfaat bagi pendengar, justru kadang membuat orang lain bosan atau jengkel.
- Orang yang dangkal
Dari tingkatan ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa lisan adalah cermin kepribadian. Orang yang mampu menahan diri untuk tidak berbicara sembarangan akan lebih disegani. Diam yang terjaga, ketika seseorang mampu mengendalikan lisannya, menumbuhkan wibawa. Orang lain akan sungkan kepadanya, karena diamnya penuh makna, bukan sekadar hampa.
Banyak ulama menasihatkan bahwa diam adalah salah satu bentuk kecerdasan. Sebab, dengan diam kita terhindar dari dosa, terjaga dari perdebatan sia-sia, dan memberikan kesempatan bagi hati untuk merenung. Namun tentu saja, diam tidak berarti pasif. Ada saatnya kita berbicara, namun hanya bila ucapan kita mengandung kebaikan.
Oleh karena itu, menjaga lisan bukanlah perkara ringan. Ia adalah bagian dari menjaga iman, membersihkan hati, dan memperindah akhlak. Orang yang mampu menjaga lisannya akan lebih tenang hidupnya, lebih damai hatinya, serta lebih mulia di mata manusia dan Allah ﷻ.
Maka, marilah kita belajar untuk menggunakan lisan dengan bijak. Bicara bila bermanfaat, diam bila tidak. Karena setiap kata yang keluar akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah SWT.
Program : Kajian MQ Pagi
Narasumber : KH Abdullah Gymnastiar dan KH Miftah Farid
Penyiar : Kang zaeni