Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakanbagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakankebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus meletakan agama dalam konteks kehidupan sehari-hari.Hubungan agama dan kebudayaan merupakan dua unsur yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama sendiri mempunyai nilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama tidak pernah sebaliknya.
Sebagian kelompok yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah bahwa agama bukan berasal dari manusia tetapi datang dari Tuhan dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan pemikiran intelektual untuk memahaminya, maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan. Maka menurut pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga agama mau tidak mau menjadi bagian dari kebudayaan.
Apabila ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu adalah garis batas Tuhan dan manusia, maka wilayah agama dan wilayah kebudayaan itu pada dasarnya tidak statis, tetapi dinamis, sebab Tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, di mana manusia menjadi khalifah Nya di bumi. Maka pada tahapan ini, adakalanya antara agama dan kebudayaan menempati wilayah sendiri-sendiri, dan adakalanya keduanya berada dalam wilayah yang sama yaitu yang disebut dengan wilayah kebudayaan agama.
Agama sesungguhnya untuk manusia dan keberadaanagama dalam praktik hidup sepenuhnya berdasar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya manusia untuk agama. Oleh karena itu agama untuk manusia, maka agama pada hakikatnya menerima adanya pluralitas dalam memahami dan menjalankan ajarannya. Jika agama untuk manusia, maka agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan dan menyejarah menjadi kebudayaan dan sejarah agama adalah sejarah kebudayaan agama yang menggambarkan dan menerangkan bagaimana terjadi proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran manusia tentang wahyu, doktrin dan ajaran agama, yang kemudian dipraktikkan dalam realitas kehidupan manusia dan dalam sejarah perkembangan agama itu, sehingga agama yang menyejarah telah sepenuhnya menjadi wilayah kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka sesungguhnya sejarah agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah dituliskan.