Wacana dan pembahasan mengenai difabel bukanlah suatu hal yang baru. Dari tahun ke tahun ada saja isu hangat yang selalu menjadi perbincangan, mulai dari kedudukan mereka dari berbagai aspek seperti pendidikan, sosial ekonomi dan lain sebagainya. Difabel sendiri adalah konsep yang merujuk pada persoalan- persoalan yang dihadapi manusia karena sensorik dalam mengalami penderitaan fisik, mental, intelektual, atau jangka waktu yang lama menghambat interaksi dan menyulitkan partisipasi penuh serta efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan manusia pada umumnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Menurut WHO (1980) ada tiga definisi berkaitan dengan kecacatan, yaitu impairment, disability, dan handicap. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau anatomis. Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia. Handicap adalah suatu kerugian bagi individu tertentu, sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal.
Al- Qurān tidak menyebutkan secara gamblang kata difabel. Namun ada istilah-istilah yang mewakili makna difabel, diantaranya Ṣummun (tuli) disebut sebanyak lima belas kali, bukmun (bisu) enam kali, ‘umyun (buta) tiga puluh tiga kali dan ‘aroj (pincang) disebut dalam al- Qurān dua kali.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan menghormati individu yang memiliki keterbatasan. Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin dan bahkan tidak memungkiri keberadaan para penyandang disabilitas, tidak mengabaikan hak-hak penyandang disabilitas. Islam telah menanamkan dalam jiwa setiap muslim sifat toleran terhadap orang-orang yang berbeda. Lebih jauh lagi, Islam mengajak untuk mencintai seluruh manusia. Ajaran agama Islam juga menjelaskan tentang kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dengan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Setiap individu harus diperlakukan secara sama dan menerima secara tulus tanpa adanya diskriminasi dalam kehidupan sosial.
Islam memandang para penyandang difabel sebagai entitas yang wajib diperhatikan karena beberapa alasan kuat. Paling mendasar ialah atas nama kemanusiaan. Satu fakta yang tak bisa dimungkiri bahwa mereka sama-sama makhluk Allah SWT yang wajib dihormati. Apalagi, para penyandang tersebut juga manusia yang dimuliakan oleh Allah. Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Isra:70 tentang kemuliaan manusia.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Terjemah: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.“
Keseteraan dengan penyandang disabilitas juga telah Allah bahas dalam QS. An-Nur:61
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا ۚ فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Terjemah:”Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.“
Sahabat MQ, dari pernyataan di atas telah membuktikan betapa Islam begitu mengindahkan penyandang disabilitas. Kekurangan yang dimilikinya bukan berarti penghalang untuk mendapatkan kasih sayang sesama manusia.