Islam merupakan agama peradaban. Islam bukan agama kekerasan atau agama fasis, sebagaimana dituduhkan sebagian kalangab Barat. Sebaliknya, Islam menolak kedzaliman dan teror. Kita, umat Islam, diperintakan untuk menghormati sesama manusia meski berbeda agama dan warna kulit. Seorang muslim ini laksana lebah. Ia mengonsumsi makanan yang baik, dan memproduksi sesuatu yang baik pula. Saat ia hinggap pada setangkai bunga, ia tak merusaknya. Demikianlah, Allah sudah memberikan perumpamaan umat ini sebagai suatu kebaikan yang memberi dengan penuh kasih sayang, bukan penyebar keburukan dan kekerasan.
Islam adalah agama wasatiyyah (tengah, moderat), mudah dan realistis. Sikap ekstrem, keras dan kaku dalam beragama sangatlah ditentang dalam ajaran Islam. Kecenderungan sikap dan pemikiran ekstrem, radikal, intoleran di kalangan sebagian umat Islam yang berkembang sampai saat ini, dapat dilawan dan dicegah dengan memaparkan fakta sejarah bahwa agama ini berjalan atas prinsip kemudahan dan keseimbangan. Oleh sebab keberadaan Islam di wasatiyyah, Islam melarang untuk bersikap ghuluw (melampaui batas, berlebih-lebihan, ekstrem).
Adapun ghuluw secara istilah adalah model atau tipe keberagamaan yang mengakibatkan seseorang melenceng dari agama tersebut. Disamping itu, ada istilah al-tatarruf dalam bahasa Arab modern yang menunjuk pada kata ektrim. Altatarruf, menurut etimologis bahasa Arab bermakna berdiri di tepi, jauh dari tengah. Dalam bahasa Arab awalnya digunakan untuk hal yang materil, misalnya dalam berdiri, duduk atau berjalan. Lalu kemudian digunakan juga pada yang abstrak seperti sikap menepi dalam beragama, pikiran atau kelakuan. Beberapa istilah lain yang berkonotasi serupa dengan ghuluw antara lain tanattu’ (sikap yang keras), ifrat (mempersempit), tashaddud (menyusah sesuatu) atau takalluf (memaksakan diri).
Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 171:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا
Terjemah:”Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.“
Berlebih-lebihan atau melampaui batas merupakan hal yang sangat dilarang dalam ajaran Islam, terlebih lagi jika berlebih-lebihan yang dilakukan terkait dengan hal beragama. Dalam memahami ajaran agama Islam yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis, umat Islam yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama dalam tingkat kemampuan, persepsi, dan interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan munculnya aliran-aliran, paham, dan golongan yang berbeda-beda sehingga wajar saja jika banyak terjadi perbedaan dalam praktik keagamaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya yang berbeda aliran atau paham. Dalam hal ini, ada sebagian kelompok yang menganggap bahwa merekalah yang paling benar dan paling sesuai dengan ajaran Nabi SAW serta menganggap kelompok lain tidak sesuai dengan ajaran Nabi SAW, sehingga mereka sampai berani mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Inilah salah satu bentuk fenomena berlebihan dalam beragama yang sering terjadi di masyarakat saat ini.
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.“ (Q.S. Al- Baqarah: 143).
Sahabat MQ, sesungguhnya setiap perkara yang paling disukai Allah swt. adalah perkara yang pertengahan. Keberadaan umat Islam dalam posisi tengah inilah yang menjadikan mereka senantiasa dapat memadukan antara aspek rohani dan jasmani, serta aspek material dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas. Oleh karena itulah Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berada di tengah dan menempuh jalan tengah serta merealisasikannya dalam segala hal, baik dalam hal duniawi maupun ukhrawi. Dengan kata lain, sebagai agama pilihan, Islam melarang umatnya untuk bertindak berlebihan, semena-mena, melampaui batas, dan melakukan kekerasan.