Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam tatanan umat. Oleh karenanya baik buruk umat sangat bergantung kepada baik buruknya keluarga. Seandainya instrumen terpenting umat ini tidak dibina dengan baik dan benar, maka mustahil mengharapkan terwujudnya kehormatan dan kemuliaan Islam.

Mengingat begitu pentingnya peranan keluarga, maka Islam memberikan perhatian yang sangat besar pada pembinaan keluarga dengan referensi yg tetap merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah Rasul.

Dalam Al-Qur’an terdapat banyak potret keluarga, meskipun terjadi pada masa dan lingkungan yang berbeda dengan saat ini, akan tetapi tetap mengandung banyak hikmah dan pelajaran berharga yang senantiasa kekal sepanjang zaman. Salah satu pelajaran berharga tentang kehidupan berumah tangga dapat kita ambil dari keluarga Nabi Syu’aib bersama kedua puterinya dan Nabi Musa.

Lari dari Mesir untuk menghindari pengejaran tentara Fir’aun, Nabi Musa as. tiba di sebuah negeri yang bernama Madyan. Di sana ia melihat kerumunan manusia yang sedang berdesak-desakan untuk mengambil air dari sebuah sumur. Tak jauh dari kerumunan itu tampak dua orang gadis sedang berdiri menunggu hingga kerumunan itu bubar. Musa mendekati kedua gadis tersebut dan bertanya, “Kenapa dengan kalian?” Keduanya menjawab, “Kami tidak bisa mengambil air sampai mereka semua selesai, sementara ayah kami sudah sangat tua”. Tanpa pikir panjang lagi, Nabi Musa as. segera membantu kedua gadis itu untuk mengambil air.

Tidak berapa lama setelah itu, salah seorang dari kedua gadis itu disuruh oleh ayahnya untuk  mengundang Nabi Musa as. (Gadis itu menyampaikan undangan sambil malu-malu), hal ini dibalas oleh Nabi Musa as. dengan bijak dan berwibawa, Nabi Musa as. meminta gadis itu untuk berjalan di belakangnya sehingga terjaga pandangan dan bisikan hati dari hal-hal yang dihembuskan oleh setan dan hawa nafsu. Muru`ah (harga diri) laki-laki muslimlah yang  mendorong Nabi Musa as. untuk menjaga hati dan juga ‘iffah (kesucian diri) gadis itu.

 

{فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا ۚ فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ ۖ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ} [القصص : 25]

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu”.

Ternyata ayah sang gadis bermaksud menawarkan Nabi Musa untuk menikahi salah seorang puterinya. Tawaran itu pun dibalas oleh Nabi Musa dengan penuh mulia yaitu pengabdian selama lebih kurang delapan tahun sebagai mahar dari pernikahan tersebut.

 

Dari petikan kisah ini ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita ambil.

PERTAMA

Nabi Syu’aib as. menjadi teladan bahwa ayah memiliki peran yang sangat penting dan besar dalam pendidikan dan pembinaan anak gadisnya sehingga puterinya dapat tumbuh menjadi muslimah shalihah yang taat, berbakti dan mampu menjaga kehormatan diri dan keluarganya.

KEDUA

Nabi Syu’aib as. menjadi teladan bahwa ayah harus mengambil sikap berani, tegas dan bijak dalam mengestafetkan tanggung jawab dunia akhirat atas puterinya kepada laki-laki shaleh dan bertanggung jawab yang layak menjadi imam bagi buah hatinya. Bukanlah sebuah aib ketika orang tua menawarkan puterinya kepada seorang pemuda yang ia kagumi pribadi dan agamanya. Bahkan itu sudah menjadi hal yang lumrah di masa Rasulullah saw. dan salafusshaleh. Diriwayatkan bahwa Umar r.a. menawarkan puterinya, Hafshah kepada Abu Bakar, tapi Abu Bakar tidak memberikan jawaban. Kemudian Umar menawarkannya kepada Utsman, tetapi Utsman mohon maaf tidak bisa menerima tawaran tersebut. Umar sempat merasa kurang enak memperoleh reaksi yang demikian dari kedua sahabatnya tersebut. Ternyata di balik usaha Umar untuk mencarikan suami yang saleh bagi puterinya, Allah swt. telah menakdirkan seorang suami terbaik dan paling ideal untuk putrinya yaitu Rasulullah saw.

✒ Nabi Syu’aib as. telah mengambil sebuah keputusan yang  berani ketika ia menikahkan salah seorang puterinya dengan seorang pemuda asing (Nabi Musa as) yang tidak memiliki apa-apa selain agama. Faktor ini pulalah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi setiap orang tua muslim dalam mencarikan jodoh untuk buah hatinya. Rasulullah saw bersabda, “Apabila datang kepadamu pemuda yang kamu sukai agamanya maka nikahkanlah ia (dengan puterimu), karena kalau tidak akan timbullah fitnah”.   Hubungan suami istri adalah hubungan sakral yang akan terjalin untuk selama-lamanya. Seandainya orang tua tidak cermat dan bijak  memilihkan calon pasangan untuk anak-anaknya maka sulit  mengharapkan mereka akan memperoleh kehidupan yang bahagia, damai dan harmonis dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

✒Faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi Nabi Syu’aib as untuk menikahkan salah satu puterinya dengan Nabi Musa as. adalah bahwa Nabi Musa adalah seorang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Hal ini tampak dari bantuan yang diberikannya pada kedua gadis puteri Nabi Syu’aib saat mengambil air. Bahkan Nabi Musa as. memberikan mahar  dalam bentuk pengabdian kerja kepada Nabi Syu’aib as. selama delapan tahun.

KETIGA

Sikap puteri Nabi Syu’aib as. yang menerima pilihan ayahnya menjadi teladan bagi para gadis, bukanlah kuno dan tidak menghargai hak asasi jika ayah memilihkan calon suami yang shaleh dan bertanggung jawab untuk menjadi imam bagi dirinya.

KEEMPAT

Ibadah ritual yang baik, tidak cukup bila tidak diikuti dengan aplikasi nyata dari ibadah tersebut dan hubungan yang baik dengan sesama. Dua puteri Nabi Syu’aib memberikan pesan bahwa ketaatan dan aktivitas ibadah bukan berarti tidak berinteraksi dengan sesama, mereka berdua tetap berhubungan dengan kaumnya … mengantri mengambil air dengan tetap memperhatikan adab serta akhlak Islami yang mulia.

KELIMA

Kaum Nabi Syu’aib as. dikaruniai harta yang berlimpah namun mereka musyrik serta suka melakukan kecurangan dalam timbangan dan takaran. Nabi Syu’aib ‘alaihissalam mengajak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah, melarang berbuat syirik, memerintahkan agar berbuat adil dan jujur dalam bermuamalah, mengingatkan mereka agar jangan merugikan orang lain, serta menyampaikan ancaman Allah  dengan azab yang mengepung mereka di dunia juga di akhirat nanti. Kita bisa mengambil pelajaran, di lingkungan yang bagaimanapun … sebagai hamba yang beriman kepada Allah, seyogyanya kita tetap memiliki jati diri yang utuh, istiqamah dalam ketaatan dan terus berjuang untuk menegakan kebenaran, tidak begitu saja terpengaruh oleh lingkungan !!!

Demikianlah sekelumit potret  keluarga Nabi Syu’aib sebagai keluarga teladan dalam Al-Qur’an.  Bersama kita jadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman dan sumber inspirasi utama, karena tidak ada manhaj (konsep) hidup yang lebih sempurna selain yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

 

sumber : Kajian Rumahku surgaku-radio mqfm @umiike