hakim

MQFMNETWORK.COM, Bandung – Pemerintah melalui pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa gaji Hakim akan dinaikkan hingga 280 persen. Pengumuman itu dilakukan bersamaan dengan acara pengukuhan hakim di Balairung Mahkamah Agung. Kebijakan itu diklaim sebagai langkah konkret dalam memperkuat integritas lembaga peradilan di Indonesia. Presiden menyebutkan bahwa tujuan utama kenaikan gaji ini bukan untuk memanjakan para hakim, melainkan agar mereka bisa lebih fokus dan tidak tergoda oleh tawaran suap yang selama ini menjadi hal yang mendapatkan sorotan dalam sistem peradilan.

Besaran Gaji Hakim

Kenaikan tersebut secara spesifik menyasar hakim tingkat pertama yang selama ini berada dalam posisi rentan secara ekonomi, terutama di wilayah terpencil dan mahal biaya hidupnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 44 tahun 2024, gaji pokok hakim muda saat ini berada di kisaran 2,8 hingga 3,4 juta rupiah, angka tersebut belum termasuk tunjangan. Dengan tambahan tunjangan structural, fungsional, dan jabatan, total penghasilan hakim bisa mencapai puluhan juta rupiah per bulan. Sebagai contoh, ketua pengadilan misalnya, bisa menerima penghasilan lebih dari Rp 50 juta setiap bulan. Setelah kenaikan diberlakukan, beberapa hakim diperkirakan akan menerima total gaji dan tunjangan hingga Rp 80 juta ke atas.

Track Record Hakim Yang Terjerat Korupsi Atau Suap

Meski demikian, sejarah menunjukkan bahwa peningkatan gaji belum tentu menjamin integritas. Dalam rentang waktu lebih dari satu dekade terakhir, tercatat setidaknya 31 Hakim terjerat kasus suap dan korupsi. Salah satu yang paling disorot adalah kasus mantan Pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, yang terlibat dalam pusaran uang suap senilai Rp 915 miliar ditambah 51 kilogram emas batangan. Selain itu, kasus pengaturan perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO) hingga jual beli putusan perdata, menunjukkan bahwa praktik suap masih marak, bahkan di level hakim senior yang notabene sudah bergaji tinggi.

Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Kalimantan Timur, Orin Gusta Andini S.H., M.H. mengatakan, bahwa kenaikang gaji hakim harus diperhatikan. Kenaikang aji tersebut bukan menjadi jalan untuk menurunkan angka korupsi para Hakim. Namun perlu juga melihat bagaimana pemerataannya untuk kesejahteran para Hakim yang berada di daerah. Menurutnya, tidak semua persoalan korupsi harus diatasi dengan kenaikan gaji.

Disamping itu, sistem pengawasan kepada para hakim juga harus diperketat. Dirinya mengungkapkan, korupsi itu hadir karena setiap individu tidak memilik integritas. Meskipun sistem pengawsan para Hakim saat diawasi oleh Komisi Yudisial (KY), namun masih ada celah dalam tindak korupsi bagi para Hakim. Dirinya juga mengungkapkan, rekrutmen Hakim juga harus mendapatkan sorotan lebih, untuk dapat juga menghadirkan integritas, tidak hanya memiliki kemampuan teknis tapi juga softskill yang perlu dikedepankan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan pandangan kritis terhadap kebijakan ini. Dalam laporan yang dirilis ICW dan disampaikan oleh peneliti Erma Natalia, disebutkan bahwa anggapan bahwa korupsi terjadi karena gaji yang rendah merupakan kesalahan berpikir yang menyesatkan. Menurut ICW, penyebab utama korupsi di peradilan bukan karena kebutuhan ekonomi semata (corruption by need), melainkan karena keserakahan (corruption by greed). Menurutnya, banyak Hakim, yang sudah digaji sangat tinggi namun tetap melakukan korupsi. Hal tersebut membuktikan bahwa peningkatan gaji tanpa disertai dengan penguatan sistem pengawasan dan reformasi struktural hanya akan bersifat dosmetik.

Program: Bisncang Sudut Pandang
Narasumber: Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Kalimantan Timur, Orin Gusta Andini S.H., M.H.
Penyiar/Reporter: Muhammad Huda/Syifa Khoirunnisa