kartu atm

Pemblokiran rekening “menganggur” oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menimbulkan perdebatan mengenai ketepatan kebijakan tersebut. Dari sisi tujuan, langkah ini dimaksudkan untuk mencegah praktik kejahatan keuangan, khususnya judi online. Namun dalam implementasinya, kebijakan ini dinilai tidak tepat sasaran karena tidak mampu membedakan secara jelas antara rekening yang benar-benar terindikasi pelanggaran hukum dengan rekening masyarakat biasa yang hanya tidak aktif digunakan secara reguler.

Efek samping dari kebijakan ini menimbulkan keresahan, sebab masyarakat yang tidak terkait dengan pelanggaran justru ikut terkena dampak. Hal ini bukan hanya menyulitkan individu yang rekeningnya diblokir tanpa alasan kuat, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Ketidaknyamanan ini semakin terasa ketika jumlah rekening yang diblokir mencapai sekitar 31 juta, yang berpotensi besar memengaruhi psikologi nasabah sekaligus iklim usaha di dalam negeri.

Dampak terhadap perekonomian juga tidak bisa diabaikan. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) masyarakat menurun cukup signifikan. Pada tahun 2024 pertumbuhan DPK berada di angka 8% lebih, namun di tahun 2025 turun hanya menjadi 4%. Penurunan ini menandakan gejala melemahnya kepercayaan masyarakat dalam menabung, diperburuk oleh kebijakan yang dinilai tergesa-gesa. Jika tren ini berlanjut, maka bukan hanya sektor perbankan yang terganggu, melainkan juga stabilitas ekonomi nasional.

Selain itu, kebijakan pemblokiran rekening menyimpan risiko lain yang tidak kalah penting, yaitu potensi penyalahgunaan wewenang dan kebocoran data pribadi nasabah. Apabila analisis tidak dilakukan secara ketat dan transparan, kebijakan ini bisa menjadi instrumen yang merugikan masyarakat sekaligus melemahkan integritas lembaga keuangan.

Oleh karena itu, PPATK perlu kembali pada prinsip dasar dengan memperkuat analisis sebelum melakukan pemblokiran rekening. Kebijakan harus dijalankan secara proporsional, akuntabel, dan tidak sewenang-wenang. Dengan demikian, tujuan mulia untuk memberantas kejahatan keuangan dapat tercapai tanpa harus mengorbankan hak-hak masyarakat yang taat hukum dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Kebijakan ini bertujuan mencegah rekening tersebut dimanfaatkan untuk praktik kejahatan keuangan, terutama judi online yang marak belakangan ini. Namun, di balik tujuan yang tampak mulia, muncul sejumlah persoalan mendasar yang memunculkan kritik dari berbagai pihak.

Pertama, pemblokiran rekening ini belum memiliki pemisahan yang jelas antara rekening yang benar-benar bermasalah secara hukum dengan rekening masyarakat biasa yang hanya jarang digunakan. Akibatnya, banyak nasabah yang tidak terkait pelanggaran justru ikut terdampak. Kondisi ini menimbulkan ketidaknyamanan, bahkan keresahan, bagi masyarakat yang merasa haknya dirugikan oleh kebijakan yang dinilai tergesa-gesa.

Kedua, dampak terhadap perekonomian nasional tidak bisa diabaikan. Data terbaru menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan. Pada tahun 2024 pertumbuhan DPK masih berada di angka 8% lebih, tetapi pada 2025 turun menjadi hanya sekitar 4%. Penurunan ini tidak hanya disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat, tetapi juga diperparah oleh kebijakan yang membuat masyarakat semakin ragu untuk menabung di bank. Jika kepercayaan publik terhadap sistem perbankan melemah, stabilitas ekonomi jangka panjang pun ikut terancam.

Ketiga, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan risiko penyalahgunaan wewenang serta kebocoran data pribadi nasabah. Dalam sistem keuangan modern, data adalah aset berharga yang harus dijaga kerahasiaannya. Jika mekanisme pemblokiran dilakukan tanpa analisis ketat, maka besar kemungkinan muncul kesewenang-wenangan yang merugikan masyarakat luas sekaligus mencoreng integritas lembaga negara.

Dalam konteks ini, PPATK dituntut untuk kembali pada prinsip kehati-hatian. Pemblokiran rekening seharusnya didasarkan pada analisis mendalam dan bukti kuat, bukan sekadar status “dorman” atau tidak aktif. Kebijakan yang diambil tanpa seleksi akurat justru akan menimbulkan kontraproduksi: tujuan memberantas kejahatan keuangan tidak tercapai, sementara masyarakat yang patuh aturan menjadi korban.

Oleh karena itu, langkah strategis yang perlu ditempuh adalah memperkuat verifikasi data sebelum pemblokiran, menjamin akuntabilitas setiap keputusan, serta membangun komunikasi yang transparan dengan masyarakat. Dengan pendekatan tersebut, PPATK dapat menjalankan fungsi pengawasan keuangan secara efektif tanpa merugikan nasabah yang sah, sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan nasional.

Pada akhirnya, pencegahan kejahatan keuangan memang penting, tetapi harus dilaksanakan dengan kebijakan yang proporsional dan berkeadilan. Negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang, sebab keberlanjutan perekonomian bergantung pada rasa aman dan percaya yang tumbuh di tengah masyarakat.

Program: Bincang Sudut Pandang
Narasumber: Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) – Eko Listiyanto