Banyaknya bencana alam yang melanda Indonesia pada beberapa bulan silam mendorong tim PKM-RSH UPI untuk melakukan sebuah riset dengan anggota terdiri atas Nurdiansyah Ramadhan mahasiswa dari program studi Pendidikan IPS 2017 sekaligus sebagai ketua tim, kemudian Gita Tania Oktaviani mahasiswi dari program studi Pendidikan IPS 2020, dan Mohammad Asyfi Abdul Aziz Sidiq mahasiswa dari program studi Pendidikan IPS 2017 dengan di bawah bimbingan Retno Ayu Hardiyanti, M.Pd.

Dalam riset tersebut tim mengatakan bahwa satu diantara penyebab bencana alam terkadang disebabkan oleh kerusakan alam yang terjadi akibat alih fungsi lahan yang semata-mata tidak hanya terjadi karena motif ekonomi melainkan juga telah terjadi pergeseran makna atau disrupsi pada manusia dalam memandang alam saat ini. Hal ini ditegaskan pula dengan adanya ungkapan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang mengungkapkan bahwa berbagai bencana alam seperti bencana banjir besar di Kalimantan Selatan misalnya, diakibatkan oleh kerusakan alam yang terjadi pada hutan Kalimantan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga menyebutkan bahwa dari 3,7 juta hektar luasan wilayah Kalimantan Selatan, hampir 50 persen merupakan lahan tambang dan perkebunan sawit yang menimbulkan daya dukung lingkungan hidup yang semakin merosot dan berakhir pada bencana ekologis (WALHI, 2021). Hal tersebut menunjukkan bahwa paradigma pemikiran modern menganggap alam dan lingkungan hidup adalah harta berlimpah yang disediakan untuk kepentingan dan kemakmuran umat manusia sehingga alam dengan seluruh isinya dieskplorasi dan dieksploitasi secara berlebihan tanpa mempertimbangkan aspek keterpeliharaan dan keberlanjutannya (Gorda & Wardani, 2020). Keadaan yang cukup mengkhawatirkan ini mengingatkan tim mengenai apa yang terjadi di masyarakat adat yang justru berbanding terbalik dengan keadaan tersebut. Di mana mereka masih memegang teguh nilai-nilai leluhur dalam kehidupannya yang berkaitan dengan alam.

Lebih lanjut dikatakan dalam riset yang dilakukan oleh tim menyebutkan bahwa salah satu masyarakat adat yang sampai saat ini selalu mengimplementasikan pemahaman nilai-nilai leluhur yang berkaitan dengan alam dalam kehidupannya adalah masyarakat adat di Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat. Hal ini berdasarkan apa yang dikutip dari Dewi pada tahun 2015 bahwa menurutnya berbagai potensi bahaya alam (natural hazard) yang terdapat di Kampung Naga seperti gempa bumi, gerakan tanah longsor, banjir, dan angin kencang yang disebabkan oleh letak geografisnya belum pernah terjadi sampai saat ini sebab Kampung Naga memiliki konsep tata ruang tradisional secara kosmologi yang berdasarkan pada Tri Tanggu di Bumi. Tim mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan Tri Tanggu di Bumi ini merupakan dasar dari akar filosofis orang Sunda. Oleh karena itu, dalam riset ini tim akan menguak lebih dalam tentang bagaimana masyarakat Kampung Naga mengganggap bencana alam dapat berasal dari sikap dan perilaku manusia yang tidak menjaga ruang dengan dikaitkan pada kondisi bencana (natural hazard) yang beberapa bulan silam banyak terjadi di Indonesia sehingga dapat dijadikan sebagai bentuk adaptasi dalam menghadapi bencana (natural hazard) dengan menerapkan filosofi Tri Tangtu di Bumi yang dipegang teguh oleh masyarakat adat Kampung Naga.

Mewakili timnya, ketua penelitian Nurdiansyah Ramadhan mengatakan, “riset yang kami lakukan bagaikan peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui karena selain untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bagaimana menghadapi bencana yang terjadi, melalui riset ini pula tim dapat sekaligus mengingatkan kepada masyarakat mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang sudah sepatutnya dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.”

Nurdiansyah juga berharap, melalui riset ini dapat membentuk pola perilaku manusia sehari-hari baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan tuhan sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal seperti Tri Tangtu di Bumi dapat dimaknai dan diinternalisasi dengan baik.