Sahabat MQ Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, Abu Dzar berkata:
َالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul ,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa kekayaan sejati tidak diukur dari banyaknya harta yang dimiliki, tetapi dari kondisi hati yang merasa cukup dan tidak tamak. Sesungguhnya, kaya hati adalah ketika seseorang merasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah, dan tidak merasa kekurangan meskipun harta yang dimilikinya tidak melimpah.
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. juga menegaskan hal serupa:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Artinya: “Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Kaya Hati, Bukan Banyaknya Harta
Kayanya hati bukan berarti memiliki banyak harta, tetapi lebih kepada kondisi jiwa yang merasa cukup dengan pemberian Allah. Hati yang kaya adalah hati yang tidak merasa kekurangan meskipun dunia tidak memberinya kemewahan. Ini adalah suatu sindiran bagi mereka yang menganggap kekayaan itu hanya diukur dari banyaknya uang dan harta benda. Banyak orang yang memiliki harta berlimpah, namun hidupnya tetap merasa miskin karena hatinya selalu merasa kurang dan tidak pernah puas.
Hakikat kekayaan yang sesungguhnya adalah kayanya jiwa. Jiwa yang merasa cukup dengan apa yang dimiliki, tidak berambisi menumpuk harta, dan merasa bahagia dengan apa yang Allah tetapkan untuknya. Konsep ini dalam Islam dikenal dengan istilah qana’ah, yaitu sikap menerima dan merasa puas dengan apa yang diberikan oleh Allah, tanpa ada rasa iri atau tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain.
Qana’ah: Kaya dengan Rasa Cukup
Namun, penting untuk dibedakan antara orang yang kaya hati dengan orang yang malas bekerja. Orang yang merasa cukup dan kaya hatinya bukan berarti tidak berusaha. Justru, orang yang memiliki hati yang kaya akan tetap berusaha untuk memperoleh rezeki yang halal dan bekerja sesuai dengan kemampuan. Dia tahu bahwa bekerja dan berusaha adalah bagian dari ibadah, dan dia akan menjaga diri agar tidak tergoda untuk mendapatkan harta dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat.
Islam mengajarkan bahwa kita harus berikhtiar, berusaha, dan membelanjakan rezeki yang kita peroleh sesuai dengan petunjuk Allah. Semua yang kita peroleh akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat. Seorang yang kaya hati akan mengutamakan kebahagiaan batin dan tidak terburu-buru mengejar harta tanpa memperhatikan apakah cara yang ditempuh sesuai dengan aturan Allah.
Kaya hati adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati. Kebahagiaan tidak datang dari banyaknya materi atau kemewahan dunia, tetapi dari hati yang merasa cukup dan selalu bersyukur atas apa yang dimiliki. Dalam kehidupan sehari-hari, kita diingatkan untuk tidak berlebihan dalam mengejar dunia, tetapi untuk selalu menjaga keseimbangan, berusaha dengan maksimal, dan menerima dengan lapang dada segala pemberian dari Allah. Dengan demikian, kita akan merasakan kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan batin yang tidak tergantung pada keadaan duniawi.