Sahabat mq istilah ulama saat ini tengah menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Jika kita telisik, apakah makna dari ulama ini?

Kata ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang berarti mengetahui dengan jelas dan pasti. Dan kata ulama ini, jika mengacu pada kata alim (asal katanya) maka akan kita temukan sebanyak 854 kali penyebutan dalam Al-Qur’an.

Banyaknya penyebutan tersebut menunjukkan betapa penting ilmu pengetahuan. Dalam Shahih Bukhori, ada pembahasan Bab Al-‘ilmi qabl al-qauli wa al-‘amali yakni ilmu itu berada sebelum perkataan dan perbuatan.

Menurut Ibn Al-Munir, yang dimaksud oleh Al-Bukhori tersebut adalah ilmu sebagai syarat sahnya perkataan dan amal manusia, sedangkan dalam hadis dijelaskan bahwa siapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, difakihkan dalam agama.

Terdapat tiga kata`âlim yang digunakan sebagai subjek ilmu pengetahuan dan dinisbahkan kepada Allah. Yakni; `âlim yang berarti mengetahui, `alîm Mahamengetahui, dan `allâm Mahamengetahui.

Ketiga istilah ini digunakan kepada Allah dengan makna Mahamengetahui, karena pengetahuan Allah sempurna, tidak ada tingkatan dan cela.

Selain itu kata`âlim juga digunakan untuk manusia dengan istilah al-`âlim dan al-`allâmah, yang artinya orang yang menguasi berbagai ilmu pengetahuan tertentu.

Sedangkan dalam kitab Minhaj Al-Atqiya’, seorang ulama atau alim diberikan syarat sebagai berikut, yaitu seorang ulama harus menguasai ilmu Al-Quran dan hadis. Tentu dalam penguasaan ini, tidak hanya cukup sekedar menguasai terjemah dari Al-Quran ataupun hadisnya, namun juga memiliki perangkat dalam memahami sumber ajaran islam, seperti menguasai seluk beluk bahasa arab, baik nahwu, sharaf, dan balaghah.

Seorang ulama juga harus memahami asbabun nuzul (sebab diturunkannya Al-Qur’an), memahami asbabul wurud (sebab diturunkannya hadis), memahami munasabah konteks hubungan dan relasi antarakyat, dan memahami nasikh-mansukh atau penghapusan dalil hukum syar’i yang satu dengan dalil hukum syar’i lainnya, serta memiliki sanad keilmuan sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasalam.

Seorang alim juga menghindari hal-hal yang bersifat duniawi. Sebab dalam mendidik umat, seyogyanya apa yang disampaikan dan dilakukan, tidak mengarah pada orientasi duniawi semata. Membenci orang-orang yang melakukan penindasan dan tidak akan berdiam diri ketika umatnya berjuang sendiri memperjuangkan hak-haknya.

Ia yang memiliki akhlak yang terpuji dalam menyampaikan ajaran agama, tawadhu’, rendah hati, tidak mudah menyalahkan dan merasa paling benar sendiri, serta menjauhi penguasa dan membenci kekuasaan. Sebab, seorang alim yang baik ialah alim yang dibutuhkan penguasa, bukan sebaliknya.

 

(Konten ini disiarkan dalam segmen Mozaik Islam, setiap Sabtu – Ahad Pukul 17.00 WIB)