MQFMNETWORK.COM, Bandung – Pemerintah resmi meluncurkan program makan bergizi gratis (MBG) di 190 lokasi di 26 provinsi di Indonesia. Dari 190 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG yang mulai beroperasi, 54 titik dapur MBG tersebar di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Yogi Suprayogi Sugandi menilai, titik-titik yang mulai digulirkan program MBG baru sebatas uji coba. Oleh karena itu, menurutnnya, pelaksanaan program tersebur masih harus menunggu bagaimana evaluasinya.
Terpelas dari permasalahan anggarannya, dirinya menilai bahwa program MBG sangat penting buat dijalankan di Indonesia. Pasalnya, masyarakat Indonesia memerlukan makanan yang bergizi, agar bisa lebih sehat dan cerdas. Pihaknya menyatakan bahwa program MBG dilaksanakan melalui dapur khusus yang telah terstandardisasi. Meski begitu, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang telah ditentukan bukan hanya dari instansi pemerintah, tetapi juga melibatkan pihak swasta.
Dia menjelaskan, di daerah-daerah yang bukan penghasil beras, daging sayuran, dan sebagainya kemungkinan akan ada kendala yang dihadapi. Oleh karena itu, Yogi menekankan, pemerintah juga harus memikirkan bagaimana rantai pasoknya. Di samping itu, pemerintah juga perlu menyosialisasikan budaya makan yang baik kepada masyarakat. Dengan demikian, makanan yang diberikan dapat diterima dengan baik oleh pemerima manfaat program MBG.
Sebagai program Pemerintah yang paling ambisius, program makan bergizi gratis dirancang untuk mengatasi masalah stunting dan meningkatkan gizi masyarakat.
Namun, pelaksanaannya pada awal Januari 2025, yang mendahului kebiasaan program pemerintah lain yang biasanya dimulai Februari-Maret, menimbulkan pertanyaan tentang sumber dana yang digunakan untuk menjalankan program ini.
Menurut keterangan Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dengan berbagai elemen yang melibatkan militer, logistik, dan lokasi, muncul pertanyaan mengenai apakah program ini cukup transparan dan sesuai dengan prinsip akuntabilitas yang diharapkan masyarakat.
Menurutnya, Peran Kodim dan tentara dalam program ini juga menimbulkan kritik, karena tupoksi utama mereka adalah pertahanan dan keamanan, bukan penyediaan makanan bergizi. Apakah keterlibatan militer dalam pengelolaan dapur SPPG menunjukkan upaya kodimisasi dalam program ini. Selain itu, Achmad juga menyoroti peran kementerian lain seperti kementerian Sosial, Badan Pangan Nasional, dan kementerian terkait lainnya dalam pelaksanaan program MBG ini.
Dirinya mengungkapkan, peran para Kementerian tampak kurang menonjol dalam pelaksanaan MBG. Padahal, mereka memiliki keahlian teknis dan infrastruktur yang lebih relevan untuk memastikan keberhasilan program. Pihaknya mengtakan, ketidakseimbangan tersebut memunculkan pertanyaan tentang koordinasi antarlembaga pemerintah dan apakah pengalihan tanggung jawab ke militer merupakan langkah yang tepat.
Salah satu masalah utama dalam implementasi program ini adalah distribusi lokasi dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tidak merata. Menurutnya, ketimpangan ini dapat menyebabkan ketidakadilan akses bagi masyarakat di daerah dengan infrastruktur yang kurang berkembang. Jawa Barat, misalnya, memiliki 58 lokasi, sementara beberapa provinsi lain seperti Bali, Gorontalo, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara masing-masing hanya memiliki satu Lokasi.
Kesenjangan distribusi tersebut juga mengindikasikan bahwa pemerintah mungkin kurang mempertimbangkan kebutuhan gizi di setiap daerah secara spesifik.
Program: Sudut Pandang