Sahabat MQ Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam bukan hanya dihafalkan, tetapi juga didokumentasikan melalui tulisan. Menurut Syekh Ali Ash Shabuni, Al-Quran sejak awal didokumentasikan pada lembaran-lembaran oleh para pencatat yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah SAW. Setiap kali wahyu turun, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya, sebagai ikhtiar untuk menjaga dan merekam ayat-ayat Al-Quran agar tidak hilang atau terlupakan.
Proses pencatatan ini dilakukan secara sistematis, sehingga catatan dan hafalan Al-Quran saling melengkapi dan memperkuat. Para sahabat yang mencatat wahyu adalah sahabat-sahabat pilihan, yang dipilih langsung oleh Rasulullah. Salah satu pencatat utama adalah Zaid bin Tsabit, yang kelak memimpin upaya kodifikasi Al-Quran di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA.
Rasulullah juga memberikan panduan tentang susunan ayat-ayat Al-Quran. Ketika Jibril AS menyampaikan wahyu, ia tidak hanya menyampaikan ayat tetapi juga memberitahu Rasulullah mengenai tempat ayat tersebut dalam susunan surah. Rasulullah kemudian meneruskan petunjuk ini kepada para pencatat, sehingga mereka menuliskan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan susunan yang dikehendaki Allah SWT.
Alat dan Bahan Pencatatan Al-Quran pada Masa Sahabat
Pada masa Rasulullah SAW, alat-alat yang digunakan untuk mencatat wahyu masih sangat sederhana. Para sahabat menggunakan bahan-bahan alami yang ada di sekitar mereka, seperti pelepah kurma, batu tulis, lembaran kulit, serta tulang-tulang bahu dan punggung hewan sebagai media tulis. Meskipun bahan-bahan ini terbatas, semangat para sahabat untuk menjaga dan mencatat wahyu Allah sangat luar biasa. Mereka tidak merasa terhalang oleh keterbatasan material, karena niat mereka adalah untuk melestarikan wahyu Allah agar dapat diwariskan kepada umat Islam yang akan datang. Setiap wahyu yang turun diterima dengan rasa syukur dan disalin dengan penuh perhatian, karena mereka sadar akan tanggung jawab besar yang mereka emban sebagai penyimpan wahyu Allah di bumi.
Kodifikasi Al-Quran pada Masa Khalifah
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan RA, Al-Qur’an kemudian dikumpulkan dan disusun dalam satu mushaf yang resmi, yang dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf ini menjadi standar baku bagi seluruh umat Islam di dunia, sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam bacaan dan penulisan Al-Qur’an. Proses kodifikasi yang dilakukan pada masa Utsman ini bertujuan untuk memastikan bahwa Al-Qur’an tetap terjaga kemurniannya dan tidak ada penyelewengan dalam penyampaian wahyu.
Hikmah dari Kodifikasi Al-Qur’an
Kodifikasi Al-Qur’an memiliki makna yang sangat mendalam dalam menjaga kemurnian wahyu Allah agar tidak berubah hingga akhir zaman. Salah satu hikmah terbesar dari proses ini adalah bahwa Al-Qur’an yang kita miliki saat ini merupakan wahyu yang sama seperti yang diterima oleh Rasulullah SAW lebih dari 1400 tahun yang lalu. Keaslian dan kemurnian Al-Qur’an terjaga dengan baik berkat upaya para sahabat yang berkomitmen untuk menulis dan menghafalkan wahyu dengan teliti.
Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 32, Allah berfirman:
قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَاۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ ٣٢
Artinya: Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Ayat ini mengingatkan kita bahwa ilmu sejati hanya datang dari Allah. Manusia sangat terbatas dalam pengetahuan, dan hanya dapat mengetahui apa yang Allah ajarkan. Oleh karena itu, sebagai umat Islam, kita dianjurkan untuk terus menuntut ilmu, karena ilmu adalah cahaya dari Allah yang dapat memandu kita ke jalan kebenaran dan memudahkan kita dalam perjalanan menuju surga-Nya. Melalui Al-Qur’an, Allah SWT telah memberikan petunjuk yang sempurna, dan penjagaan terhadap Al-Qur’an adalah bentuk nyata dari kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya agar tidak tersesat.