MQFMNETWORK.COM – Bandung, Beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan oleh temuan nama-nama produk seperti “tuak,” “beer,” dan “wine” yang ternyata memperoleh sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama Republik Indonesia. Temuan ini menuai sorotan karena penamaan produk-produk tersebut bertentangan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 44 Tahun 2020, yang melarang penggunaan nama-nama yang berasosiasi dengan minuman beralkohol.

Adanya temuan ini menjadi polemik, mengingat wewenang untuk memberikan sertifikasi halal telah berpindah dari MUI ke Kementerian Agama melalui BPJPH. Dalam konteks ini, perbedaan pandangan antara MUI dan Kementerian Agama mengenai kehalalan produk semakin mengemuka.

Sertifikasi halal merupakan isu penting dalam konteks kepercayaan masyarakat Muslim, di mana kehalalan suatu produk berpengaruh langsung terhadap pilihan konsumsi. Dalam konteks ini, wewenang sertifikasi halal sebelumnya dipegang oleh MUI, tetapi kini telah berpindah ke Kementerian Agama melalui BPJPH. Peralihan ini bertujuan untuk mempermudah proses sertifikasi, namun juga menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat mengenai keabsahan sertifikasi produk-produk tertentu.

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Asrorun Niam Sholeh, menegaskan bahwa penetapan halal pada produk-produk tersebut menyalahi standar fatwa MUI. Ia menggarisbawahi bahwa produk harus memenuhi empat kriteria utama yang ditetapkan dalam fatwa MUI No. 4 Tahun 2003:

  1. Penggunaan Nama dan Simbol
    Produk tidak boleh menggunakan nama atau simbol yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
  2. Asosiasi dengan Produk Haram
    Penggunaan nama yang terasosiasi dengan produk haram, baik dalam hal rasa, aroma, maupun kemasan, dilarang.
  3. Bentuk Hewan Haram
    Dilarang menggunakan produk yang menggambarkan hewan-hewan yang diharamkan dalam Al-Qur’an, seperti babi atau anjing.
  4. Kemasan dan Label
    Tidak boleh menggunakan kemasan atau label yang menggambarkan sifat erotis, vulgar, atau pornografi.

MUI menyatakan bahwa banyak dari produk yang memperoleh sertifikat halal melalui jalur self-declare, tanpa melalui audit lembaga pemeriksaan halal yang resmi dan tanpa penetapan dari komisi fatwa MUI. MUI dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan yang dibuat oleh produk-produk tersebut, yang dianggapnya tidak sesuai dengan syariat.

Salah satu masalah signifikan yang muncul dalam konteks sertifikasi halal adalah kecolongan yang terjadi pada produk-produk yang tercantum di laman BPJPH. Sejumlah produk tersebut ternyata memperoleh sertifikat halal melalui jalur self-declare, yaitu proses di mana produsen menyatakan kehalalan produk mereka tanpa melalui audit dari lembaga pemeriksaan halal yang independen. Prosedur ini, yang semakin populer, memunculkan sejumlah pertanyaan tentang validitas dan keakuratan klaim kehalalan yang dibuat oleh produsen.

MUI menegaskan bahwa penetapan halal melalui jalur self-declare menyalahi standar fatwa yang telah mereka tetapkan. Proses sertifikasi halal seharusnya melibatkan audit yang ketat serta penetapan kehalalan melalui komisi fatwa MUI. Tanpa langkah-langkah ini, ada risiko besar bahwa produk yang mengklaim halal sebenarnya tidak memenuhi syarat yang diperlukan, sehingga merugikan konsumen yang mengandalkan sertifikasi tersebut sebagai jaminan kehalalan.

MUI dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk yang diperoleh melalui jalur ini. Ketidakpastian mengenai kehalalan produk yang dihasilkan dengan cara demikian berpotensi menciptakan kebingungan di kalangan konsumen, serta merusak kepercayaan publik terhadap sistem sertifikasi halal secara keseluruhan.

Di sisi lain, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kementerian Agama, Mamat Salamet Burhanudin, memberikan pandangan yang berbeda. Ia menjelaskan bahwa sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama-nama tersebut telah melalui mekanisme yang berlaku di BPJPH dan telah memenuhi syarat yang ditetapkan.

Saat ini, terdapat dua jenis fatwa untuk produk, yaitu:

  1. Komite Fatwa
    Komite Fatwa memberikan nasihat dan panduan umum mengenai halal dan haram, mencakup isu-isu yang relevan dengan perkembangan zaman. Fatwa ini membantu masyarakat dan produsen memahami norma-norma syariah yang harus diikuti.
  2. Komisi Fatwa
    Sementara itu, Komisi Fatwa bertugas mengkaji dan memutuskan kehalalan produk berdasarkan data dan bukti yang spesifik. Mereka melakukan evaluasi terhadap bahan, proses produksi, dan praktik distribusi untuk memastikan produk memenuhi syarat kehalalan. Keputusan dari Komisi Fatwa menjadi dasar penerbitan sertifikat halal, memberikan jaminan kepada konsumen.

Kedua lembaga ini bekerja sama untuk menjaga integritas dan kredibilitas sistem sertifikasi halal, serta memastikan produk yang beredar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Pemerintah telah mengusulkan kewajiban sertifikasi halal, dan langkah ini diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap produk yang beredar. Penting untuk terus menyempurnakan regulasi terkait sertifikasi halal agar tidak terjadi lagi kecolongan yang merugikan konsumen. Upaya perbaikan regulasi ini akan memastikan bahwa semua produk yang mengklaim halal benar-benar memenuhi standar yang ditetapkan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap sistem sertifikasi dapat terjaga.

Narasumber: Aisha Maharani (Founder Halal Corner)
Program: Inspirasi Pagi – Sudut Pandang