RUU TNI

MQFMNETWORK.COM, – Bandung, pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang berlangsung secara tertutup di hotel fairmont jakarta pada 14-15 maret 2025 telah menimbulkan perhatian dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Rapat Panitia Kerja (PANJA) antara komisi I DPR RI dan pemerintah ini digelar di hotel bintang lima yang berjarak sekitar dua kilometer dari kompleks parlemen senayan, jakarta.

Alasan pemilihan lokasi dan prosedur rapat

Sekretaris jenderal DPR RI, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa pemilihan lokasi rapat di hotel mewah tersebut telah sesuai dengan aturan yang tercantum dalam tata tertib DPR, khususnya pasal 254. Aturan tersebut memungkinkan rapat dengan urgensi tinggi untuk dilaksanakan di luar gedung dpr dengan izin pimpinan DPR. Indra menambahkan bahwa hotel fairmont dipilih karena sesuai dengan format rapat panja dan standar biaya masukan (SBM) DPR RI. Pertimbangan lain adalah kebutuhan akan tempat istirahat bagi anggota PANJA mengingat durasi rapat yang panjang dan sifatnya yang maraton.

Kontroversi dan kritik publik

Meskipun demikian, keputusan untuk mengadakan rapat di hotel mewah secara tertutup menuai kritik dari berbagai pihak. Koalisi masyarakat sipil untuk sektor keamanan, misalnya, menganggap langkah ini menunjukkan rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi. Mereka menilai bahwa pembahasan ruu tni seharusnya dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat untuk memastikan akuntabilitas.

Isi dan poin kontroversial dalam ruu tni

Salah satu poin kontroversial dalam revisi UU TNI adalah usulan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit tni aktif. Usulan perubahan pasal 47 ayat (2) UU TNI mencakup penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden”. Penambahan ini dianggap berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit tni aktif, yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga. Dengan adanya frasa ini, peluang interpretasi yang lebih longgar terbuka, sehingga memungkinkan penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian atau lembaga lain di luar yang telah diatur sebelumnya.

Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa revisi ini dapat membuka celah bagi kembalinya dwifungsi abri, di mana militer memiliki peran ganda dalam urusan sipil dan militer. Hal ini dikhawatirkan dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, serta mengancam prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.

Respon dari berbagai pihak

Yenny Wahid, direktur Wahid Foundation dan Putri dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menekankan bahwa tni sebaiknya fokus pada pertahanan negara dan tidak tergoda untuk masuk ke ranah sipil. Ia mengingatkan pentingnya menjaga semangat reformasi dan menghindari keterlibatan militer dalam urusan sipil yang dapat mengancam demokrasi.

Selain itu, ray rangkuti, direktur lingkar madani (lima), mengkritisi revisi UU TNI yang memperluas peran prajurit aktif di jabatan sipil. Ia menegaskan bahwa perubahan dari 10 menjadi 16 posisi bukanlah pembatasan, melainkan perluasan kewenangan militer dalam sektor sipil. Menurutnya, seharusnya jumlah posisi militer aktif di jabatan sipil dikurangi, bukan malah ditambah.

Langkah selanjutnya dalam pembahasan ruu tni

Setelah menuai kritik, pembahasan RUU TNI tidak lagi dilanjutkan di hotel mewah. Rapat selanjutnya dijadwalkan akan berlangsung di gedung dpr pada pekan depan. Anggota komisi I DPR RI, Tb Hasanuddin, menyatakan bahwa pembahasan revisi UU TNI akan berlanjut dengan rapat bersama pemerintah di DPR.

Kesimpulan

Pembahasan ruu tni secara tertutup di hotel mewah telah menimbulkan kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Isu utama yang menjadi sorotan adalah usulan perluasan kewenangan tni dalam jabatan sipil, yang dikhawatirkan dapat mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi menjadi tuntutan utama untuk memastikan bahwa revisi uu tni tidak mengembalikan praktik dwifungsi militer yang pernah terjadi di masa lalu.

Narasumber : Dr. Dhia Al-Uyun, S.H., M.H. – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya
Program : Bincang Sudut Pandang