Sosok Buya Hamka hadir dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia. Buya Hamka memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah, beliau adalah seorang aktivis politik, ulama dan sastrawan. Lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.

Ia berkarir sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Sejarah mencatat bahwa Buya Hamka terjun ke dunia politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya Universitas Al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doctor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Buya Hamka pernah memperjuangkan agar Indonesia menjadi negara Islam, tetapi gagal. Ia rela dan ikhlas Indonesia akhirnya menjadikan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia dan demokrasi sebagai sistem politiknya.

Buya Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak.

Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lingdungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wick nama Hamka melambung sebagai sastrawan.

Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen Agaman Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin  memengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat  yang berumur pendek, dibredel oleh Soekarno setelah menurunkan tulisan Hatta yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul “Demokrasi Kita”. Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Ia merampungkan Tafsir Al-Azhar  dalam keadaan sakit sebagai tahanan.

Menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno, Hamka dibebaskan pada Mei 1966. Pada masa Orde Baru Soeharto, ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung Al-Azhar serta berceramah di RRI dan TVRI. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia  pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal  bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.