MQFMNETWORK.COM, Bandung – Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria mengungkapkan perubahan kedua UU ITE sebagai bentuk respons pemerintah terhadap dinamika aspirasi kebutuhan masyarakat akan penguatan perlindungan Hak Asasi Manusia (HM) dan hak-hak anak dalam ruang digital. 

Urgensi penguatan bertujuan menjaga ruang siber yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan adil, serta melindungi konsumen di Indonesia. Pemerintah berkomitmen untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia dalam ruang siber, memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi, dan melindungi kepentingan umum dari penyalahgunaan teknologi.

Koordinator Paguyuban Korban Undang-Undang ITE, Andi Hidayat, mengungkapkan bahwa perubahan kedua undang-undang ITE masih menyimpan permasalahan, terutama terkait pasal-pasal yang multitafsir, seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan informasi palsu. Ia menilai bahwa penambahan poin dalam perubahan tersebut justru mempermudah penyalahgunaan dan dapat membungkam kebebasan pendapat. Menurutnya, undang-undang ITE seharusnya dikembalikan untuk fokus pada pengaturan transaksi elektronik.

Berdasarkan data yang dicatatkan oleh Sotice Asia Freedom of expression Network sejak Januari hingga Juni 2024 terdapat 91 kasus yang tersandung Undang-Undang ITE Adapun kasus paling banyak adalah pasal pencemaran nama baik diikuti ujaran kebencian dan berita bohong atau hoax.

Biro Hukum Kementrian Komunikasi dan Informatika Kominfo, Teguh Arifyadi menyatakan bahwa pencantuman pasal pencemaran nama baik pada perubahan kedua Undang-Undang informasi dan transaksi elektronik Undang-Undang ITE nampaknya sudah sesuai tidak melanggar HAM, menurutnya pasal pencemaran nama baik di Undang-Undang ITE tersebut telah di uji sebanyak tiga kali di mahkamah konstitusi yang semua putusannya menyatakan bahwa delik pencemaran nama baik tersebut konstitusional dan tidak melanggar HAM.

Pasal-pasal karet dalam Undang-Undang ITE tetap tercantum meski perubahan kedua belaid tersebut sudah di sah kan. Disampaikan oleh pihak terkait menyebut perlu ada perbaikan redaksional agar tidak disalahgunakan dan menambahkan bahwa setelah KUHP yang baru nantinya berlaku pada dua Januari 2026 mendatang. 

Tujuan pembentukan Undang-Undang ITE adalah untuk memajukan perdagangan dan transaksi digital di Indonesia. Namun, dalam perkembangannya, fokus undang-undang ini lebih banyak pada isu pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, sehingga manfaatnya yang awalnya untuk ekonomi lebih banyak digunakan dalam konteks politik, terutama menjelang pemilu dan pilpres untuk menyerang lawan politik.

Undang-undang ini mengalami beberapa kali mengalami perubahan. Di tahun 2016, undang-undang ITE nomor 11 tahun 2008, kemudian perubahan pertama di 2016 undang-undang nomor 19 tahun 2016. Kemudian revisi kedua di undang-undang nomor 1 tahun 2024. Perubahan utamanya pada pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, fitnah. Kemudian pasal 28 dan 29. pasal 28 itu untuk kabar bohong yang terkait dengan perdagangan elektronik. Mungkin sekarang diubah, pasal 28 di bagi dua yang kabar bohong untuk elektronik dan mana yang disebut hate speech. 

Undang-undang satu tahun 2024 sebagai revisi kedua undang-undang ITE, ada sekitas 34 perubahan disbanding dengan undang-undang ITE versi satu, versi sebelas tahun 2008 dan versi undang-undang Sembilanbelas tahun 2016. 

Undang-Undang ITE perlu direvisi total untuk mendukung perkembangan ekonomi digital, karena manfaatnya saat ini tidak sesuai harapan. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) Nomor 27 Tahun 2022, perlindungan data akan dipisahkan. Undang-Undang ITE fokus pada penyelenggaraan sistem elektronik dan kewajiban mengamankan sistem, sementara Undang-Undang PDP mengatur proses pengumpulan, pemanfaatan, dan penghapusan data sesuai ketentuan yang berlaku.

Pemahaman terhadap Undang-undang sangat penting, terutama dalam konteks pencemaran nama baik. Banyak kasus di masyarakat menunjukkan bahwa pelaporan sering dilakukan oleh pihak yang tidak berkepentingan langsung, bukan oleh korban. Oleh karena itu, penting untuk ada kesepahaman di antara masyarakat, aparat penegak hukum, dan pengadilan tentang penegakan undang-undang baru. Hal ini juga mencakup isu berita bohong dan dampaknya terhadap individu dan perdagangan elektronik, yang harus dipahami dengan jujur agar tidak ada penyalahgunaan hukum.

Masyarakat perlu bersikap kritis terhadap undang-undang untuk mencegah penyalahgunaan, terutama dalam layanan siber dan digital. Kebebasan berbicara dan berekspresi penting, namun harus disertai tanggung jawab dan dukungan bukti yang valid saat menyampaikan kritik. Hal ini akan berkontribusi pada kehidupan bernegara yang lebih baik di Indonesia. Namun, ada risiko bahwa kritik, terutama yang mengungkap dugaan korupsi, bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik. Oleh karena itu, pemahaman bersama tentang undang-undang diperlukan untuk memastikan penegakan hukum yang adil dan menghindari penyalahgunaan.

Narasumber: Ir. Heru Sutadi, M.Si – Pengamat Ekonomi Digital dan Direktur Eksekutif ICT Institute
Program: Inspirasi Pagi – Sudut Pandang