MQFMNETWORK.COM, Bandung – Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia telah mengeluarkan keputusan yang menghapuskan ketentuan Presidential Threshold, atau ambang batas minimal pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen. Keputusan tersebut diambil setelah pembacaan putusan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 

Ketua MK, Suhartoyo, dalam pembacaan putusannya menjelaskan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur mengenai Presidential Threshold, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Sebagai hasil dari putusan tersebut, ketentuan mengenai ambang batas tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sebagai informasi dalam gugatan yang diajukan pada intinya para pemohon menggugat pasal 222 UU Pemilu yang mengatur tentang Presidential Threshold berupa 20 persen kursi dpr atau 25 persen suara nasional. Pasal 222 UU Pemilu telah mengatur persyaratan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi dpr atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.

Terdapat sejumlah pertimbangan MKmengabulkan gugatan terkait mabang batas pencalonan presiden dan wakil tersebut. Selian Suhartoyo, hakim konstitusi lainnya Saldi Isra menyebut, bahwa penentuan ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden dan wakil presiden itu mempunyai pelanggaran di sejumlah aspek. Di antaranya melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang secara nyata bertentangan dengan UUD 1945.

Oleh sebab itu, kondisi tersebut menjadi alasan bagi MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya. Pihaknya juga menjelaskan, bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini juga bertentangan dengan beberapa pasal salah satunya pasal 6a ayat 2 UUD 1945.

Menanggapi putusan MK itu, pakar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Yusa Djuyandi, mengatakan partai politik (parpol) harus bekerja dari sekarang setelah ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dihapus. Menurutnya, menyiapkan kader sejak dini perlu karena penghapusan ambang batas presiden akan memberikan kesempatan kepada parpol di Indonesia menawarkan kader terbaiknya sebagai calon pemimpin negara. Yusa mengatakan menyiapkan kader sejak dini perlu karena masyarakat nantinya akan dihadapkan dengan banyaknya pilihan untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Pihaknya mengusulkan agar terdapat syarat pengalaman dalam pemerintahan atau politik bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk maju dalam pemilu sebagai respons penghapusan ambang batas tersebut.

Sementara itu, pakar Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Luthfi Makhasin, memandang perlu koalisi politik yang permanen setelah MK menghapus ketentuan ambang batas presiden. Karena itu, dirinya berpendapat penyederhanaan parpol juga tetap perlu, sekaligus berharap penghapusan ambang batas presiden oleh MK membuat hal tersebut terjadi. Dengan putusan MK ini, penyederhanaan kepartaian bisa jalan alamiah juga agar kandidasi dalam pilpres juga lebih sederhana.

Program: Sudut Pandang