Seorang muslim adalah seorang yang berpandangan luas dan  berjiwa lapang. Yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang seoarang muslim haruslah diraih kedua-duanya. Hal ini yang telah diajarkan didalam agama islam, agar senantiasa kita hidup menggapai Fiddunya hasanah wa fiddunyal aakhirah (kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam (QS. Al Qashshash: 77).

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77).

Dalam hal ini, sebagai seorang muslim hendaklah senantiasa meraih dan berlomba-lomba untuk mendapatkan Ridha Allah untuk bekal kehidupan di akhirat, karena sesungguhnya kehidupan yang abadi adalah negeri akhirat. Maka dengan karunia dan anugerah yang Allah berikan kepada manusia, yaitu supaya digunakan untuk bekal kelak di akhirat.

Namun Allah subhanahu wa ta’ala pun memerintahkan untuk tidak hanaya mencari bekal untuk akhirat saja, tetapi senantiasa belence (seimbang) dengan memperhatikan bekal kehidupan di dunia. Namun tidak menjadikan dirinya gila dunia, melainkan menjadikan dunia sebagai penghantar kehidupan akhirat.

Misal, ketika seseorang berikhtiar mencari rizki untuk kehidupan dunia, dengan senantiasa bersungguh-sungguh dalam belajar dan dalam bekerja, dengan tidak meninggalkan atas kewajiban-kewajiban seorang muslim yang telah Allah perintahkan terhadapnya. Kemudian capaian rizki yang telah ia maksimalkan dalam ikhtiar kerjanya membuat dirinya menjadi seseorang yang memiliki kelebihan harta atau menjadi seorang yang kaya, lantas ia tidak sombong, dan hendak senantiasa bersyukur atas karunia dan capaiannya yang Allah berikan kepadanya, dan dirinyapun menjadikan kekayaannya untuk berjuang di jalan Allah dengan mewakafkannya terhadap lembaga pendidikan, lembaga sosial, atau lembaga kebaikan lainnya. Maka sungguh dirinya telah menjadikan ikhtiar dunianya sebagai bekal untuk kehidupannya di akhirat.

Dalam sebuah hadits dikisahkan bahwa “Suatu ketika Nabi Muhammad mendengar kabar bahwa Abdullah bin Amr bin Ash berpuasa setiap hari, serta selalu salat malam, kemudian Nabi bertanya kepadanya:” apakah kamu menjalankan yang demikian itu”. Lalu ia menjawab: “betul, wahai Nabi.” Nabi lalu menasehatinya, “bahwa jasadmu mempunyai hak, begitu juga matamu mempunyai hak yang harus terpenuhi, apalagi keluargamu yang harus kamu penuhi hak-haknya.”

Kisah di atas memberi isyarat kepada kita bahwa manusia harus pintar dalam membagi waktu, dan tak terlalu berlebihan dalam urusan ibadah atau disebut Guluw, sehingga kita mampu membagi kewajiban dan hak orang lain yang harus terpenuhi.

Dunia memang sangat berarti bagi manusia, karena merupakan ladang menuju Akhirat, yaitu tempat menanam, serta tempat investasi. Namun tidak sedikit juga  orang yang tergoda, bahkan lalai, mabuk dengannya, sampai meninggalkan kewajiban-kewajiban  yang harus ia kerjakan, seperti seorang Suami yang lupa akan kewajibannya untuk menafkahi istri dan anaknya atau sebaliknya seorang anak terlena sampai lupa kewajibannya untuk menghormati dan mendoakan orang tuannya.

Ibadah adalah tujuan UTAMA kita diciptakan. Maka ketika hendak kita akan meraih kehidupan dunia, untuk tidak melupakan kewajiban-kewajiban kita sebagai hmba Allah, yaitu beribadah dan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Sehingga apa yang kita perjuangkan untuk memenuhi kebutuhan dunia menjadi ladang bekal pula untuk kehidupan di akhirat.

Maka  dalam doa “sapu jagat” yang sangat masyhur di kalangan awam, ada isyarat untuk mendahukan kehidupan akherat:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka“. (QS. Albaqoroh: 201)