Demokrasi

MQFMNETWORK.COM, Bandung – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Baru saja mengesahkan revisi peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib (Tatib) Pada Selasa, 4 Februari 2025. Revisi Ini Menambahkan Pasal 228a, yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap pejabat negara yang telah mereka pilih melalui rapat Paripurna. Hasil evaluasi tersebut bersifat mengikat dan dapat berujung pada rekomendasi pemberhentian.

Menurut Wakil Ketua DPR Dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, Perubahan ini bertujuan untuk menegaskan fungsi pengawasan DPR terhadap Mitra kerjanya. Dasco menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, hasil uji kelayakan dan kepatutan yang telah dilakukan DPR dapat dievaluasi kembali demi kepentingan umum. Sebagai contoh, jika seorang pejabat negara mengalami kondisi kesehatan yang menghambat kinerjanya, DPR dapat mengajukan rekomendasi untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan ulang.

Namun, Revisi Tatib DPR ini mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai perubahan ini melampaui kewenangan DPR dan berpotensi merusak tatanan negara hukum serta demokrasi di Indonesia. Menurut YLBHI, Tatib DPR seharusnya hanya mengatur lingkup internal DPR dan tidak seharusnya memberikan kewenangan untuk mengevaluasi atau memberhentikan pejabat negara lainnya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, juga menyatakan bahwa revisi Tatib DPR ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK. Menurutnya, pengangkatan dan pemberhentian pimpinan KPK sepenuhnya diatur oleh Undang-Undang tersebut dan bukan oleh Tatib DPR. Tanak menambahkan, materi Tatib DPR Yang bertentangan dengan Undang-Undang dapat digugat ke Mahkamah Agung.

Lebih lanjut, ketua program studi hukum tata negara fakultas syariah dan hukum Uin Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie, menyatakan bahwa DPR telah salah dalam memaknai fungsi pengawasan yang dimilikinya. Menurutnya, fungsi pengawasan DPR tidak berarti DPR dapat memecat pejabat-pejabat di lembaga lain seperti mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemilihan Umum (KPU), atau KPK. Jika DPR dapat melakukan hal tersebut, Maka akan merusak prinsip pemisahan kekuasaan dan Check And Balances dalam sistem ketatanegaraan indonesia.

Selain itu, Revisi Tatib DPR ini juga dianggap dapat menghancurkan pondasi sistem ketatanegaraan dengan mencampuri kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif. Indonesia menganut prinsip demokrasi yang memisahkan antara cabang kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Ketiganya tidak saling mencampuri,  namun saling mengawasi untuk menciptakan keseimbangan berdasarkan hukum. Dengan revisi Tatib Ini, DPR berpotensi mengintervensi kekuasaan Yudikatif dengan memiliki kewenangan untuk mengganti Hakim-Hakim di MK dan MA. Hal ini dinilai dapat merusak independensi lembaga-lembaga tersebut.

Di sisi lain, DPR berdalih bahwa revisi Tatib ini dilakukan untuk meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi. Namun, banyak pihak menilai bahwa langkah ini justru dapat membawa DPR ke arah yang lebih Otoriter, di mana lembaga tersebut dapat memiliki kekuasaan terlalu besar tanpa kontrol yang memadai. Jika DPR memiliki kewenangan untuk menggugurkan pejabat negara yang telah diangkat berdasarkan Mekanisme Konstitusional, maka hal ini bisa digunakan untuk kepentingan politik tertentu dan memperlemah institusi-institusi yang seharusnya independen.

Menghadapi kontroversi ini, sejumlah aktivis dan akademisi mendorong dilakukannya uji materi terhadap Revisi Tatib DPR Ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Menurut Pengamat Politik Dari Universitas Airlangga, Khairul Umam, DPR telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi dengan membuat aturan yang berpotensi melemahkan institusi-Institusi pengawas seperti KPK dan MK. Dia menekankan bahwa pembentukan aturan seperti ini harus dikaji ulang dan dapat menjadi preseden buruk bagi sistem politik indonesia ke depannya.

Sejumlah pihak menilai Revisi ini dapat mengancam demokrasi dan memperlemah pemisahan kekuasaan antar lembaga. Akan tetapi di sisi lain, DPR berdalih bahwa revisi ini dilakukan untuk memperkuat pengawasan terhadap pejabat negara.

Program : bincang sudut pandang
Narasumber : Dr. Utang Rosidin, S.H., M.H – ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Provinsi Jawa Barat