Sahabat MQ emotional spending adalah pembelanjaan yang dilakukan bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan dipicu oleh emosi, seperti stres, kebahagiaan, kecemasan, atau kebosanan. Penting bagi kita untuk menyadari bagaimana emosi ini dapat mempengaruhi keputusan belanja kita. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah untuk tidak berbelanja dalam keadaan lapar atau lelah, karena saat kita berada dalam kondisi tersebut, kita cenderung membuat keputusan yang kurang rasional.
Dalam konteks belanja, ada dua jenis pengalaman yang dapat kita rasakan, yaitu pleasure (kenikmatan) dan pain (rasa sakit). Misalnya, membayar tagihan atau cicilan seringkali diasosiasikan dengan rasa sakit, sedangkan berbelanja barang yang menarik atau lucu dapat memberikan kenikmatan. Kenikmatan ini seringkali membuat kita sulit mengambil keputusan yang objektif saat berbelanja. Ketika emosi mendominasi, kita cenderung membeli barang-barang yang tidak diperlukan hanya untuk mengatasi perasaan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk menyadari pengaruh emosi kita terhadap perilaku belanja, agar dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab.
Emotional Spending dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, dengan dorongan yang berbeda-beda. Untuk kalangan Milenial dan Gen Z, fenomena ini sering kali muncul akibat tekanan, seperti depresi atau stres yang disebabkan oleh pekerjaan atau kehidupan kampus. Selain itu, dorongan untuk mengikuti gaya hidup tertentu juga dapat memicu perasaan tidak aman (insecure) yang membuat mereka berbelanja secara impulsif. Tekanan dari lingkungan sosial dan ekspektasi untuk tampil baik di media sosial sering kali menambah beban emosional, sehingga belanja menjadi cara untuk mengatasi perasaan tersebut.
Dampak Jangka Panjang dari Emotional Spending
Jika emotional spending dilakukan secara berulang tanpa disadari, dampaknya bisa menjadi kronis. Perasaan sedih, stres, dan bosan adalah bagian dari kehidupan yang tak terhindarkan. Jika kita tidak mampu mengatur atau meregulasi perasaan-perasaan ini, kita akan terus-menerus terjebak dalam siklus emotional spending. Hal ini dapat menyebabkan kondisi keuangan kita menjadi tidak tertata secara serius.
Ketika kita terbiasa melakukan emotional spending, reaksi kita saat merasakan kesedihan terutama jika lebih parah dari sebelumnya sering kali adalah mencari penawar kesedihan tersebut melalui belanja. Ini dapat berujung pada pengeluaran yang lebih besar, yang mungkin kita ambil dari uang sehari-hari atau tabungan. Namun, risiko terbesar muncul ketika kita tidak memiliki tabungan. Dalam situasi seperti ini, kemudahan akses terhadap pinjaman online dapat membuat kita terjerat dalam hutang konsumtif.
Dalam jangka yang lebih panjang, jika kita terus mengikuti dorongan emotional spending, kita akan kesulitan untuk menetapkan dan mencapai tujuan keuangan jangka panjang. Fokus kita hanya akan tertuju pada pemenuhan kebutuhan emosional sesaat, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap stabilitas keuangan di masa depan. Kebiasaan ini tidak hanya mengganggu kesehatan keuangan kita, tetapi juga dapat menghalangi kita untuk meraih kesejahteraan dan keamanan finansial yang lebih baik.
Cara Menghindari Emotional Spending
- Mengelola Mood
Penting untuk mengenali diri kita dan memahami bagaimana faktor lingkungan, iklan, dan media sosial dapat mempengaruhi keputusan belanja kita. Belajar mengelola perubahan emosi akan membantu kita mengurangi pengeluaran impulsif.
- Penganggaran
Mengatur anggaran merupakan langkah penting untuk menghindari emotional spending. Dengan memiliki rencana keuangan yang jelas, kita dapat menetapkan batasan pengeluaran yang membantu menjaga keseimbangan keuangan.
Tuntunan Islam
Sebagai seorang Muslim, kita diajarkan untuk mengelola harta dengan bijak. Dalam Q.S. Al-Isra ayat 26-27, Allah berfirman:
وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا ٢٦
Artinya: “Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِۗ وَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا ٢٧
Artinya: “Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Dalam ayat ini, kita diingatkan untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaan harta yang merupakan titipan Allah. Kita dianjurkan untuk memanfaatkan harta dengan cara yang seimbang dan bijaksana. Penting juga untuk mengelola hawa nafsu, karena keinginan untuk berbelanja impulsif sering kali didorong oleh hawa nafsu. Oleh karena itu, kita perlu menahan diri dari pengeluaran yang berlebihan.
Salah satu cara yang dapat kita lakukan sebagai seorang Muslim adalah banyak-banyak beristighfar. Selain itu, kita perlu ingat bahwa dalam perspektif Islam terdapat konsep Qanaah (merasa cukup) yang penting untuk diinternalisasi, terutama dalam situasi yang tidak ideal.
Selanjutnya, kita juga perlu mengembangkan sikap Zuhud. Konsep Qanaah dan Zuhud ini dapat berfungsi sebagai pagar bagi kita agar tidak terjerumus dalam mengikuti hawa nafsu ketika berbelanja. Dengan mengamalkan kedua prinsip ini, kita dapat lebih bijak dalam mengelola harta dan menjaga diri dari keborosan.
Emotional Spending adalah fenomena yang dapat memengaruhi siapa saja, terutama di tengah tekanan hidup yang semakin meningkat. Dengan memahami penyebab dan dampaknya, kita dapat lebih bijak dalam mengelola keuangan dan emosi kita. Mengatur anggaran, mengenali dorongan emosional, serta mengembangkan sikap Qanaah dan Zuhud dalam perspektif Islam dapat membantu kita terhindar dari pengeluaran yang tidak perlu.
Ingatlah bahwa setiap keputusan belanja sebaiknya didasarkan pada kebutuhan yang nyata, bukan sekadar emosi sesaat. Dengan mengelola harta dan emosi secara bijak, kita tidak hanya menjaga kesehatan keuangan, tetapi juga membangun kesejahteraan yang berkelanjutan. Mari kita jadikan pengelolaan keuangan sebagai bagian dari perjalanan hidup yang lebih seimbang dan bermakna.