MQFMNETWORK.COM, Bandung – Argumentasi penolakan DPR terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY) memunculkan diskusi penting tentang relasi antara cabang kekuasaan di Indonesia. Dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia, pemisahan kekuasaan atau separation of power merupakan prinsip dasar untuk menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara, termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, langkah DPR dalam menolak calon hakim agung berpotensi mengganggu keseimbangan ini dan menimbulkan ketegangan antara DPR dan KY.
Salah satu poin kunci yang disorot adalah penafsiran pasal 24 ayat 3 UUD 1945, yang memberikan mandat kepada KY untuk mengusulkan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Dalam hal ini, DPR memaknai kata “persetujuan” sebagai hak untuk menguji, memilih, dan mengusulkan. Namun, ada kekhawatiran bahwa campur tangan DPR, sebagai lembaga politik, akan membuka peluang bagi intervensi politik dalam proses seleksi hakim agung, yang seharusnya independen dan steril dari pengaruh politik.
Masalah utama yang muncul adalah terkait penolakan DPR terhadap dua calon hakim agung yang dianggap tidak memenuhi syarat administratif. Namun, penolakan ini dinilai lemah karena kedua calon tersebut telah melalui proses seleksi administratif di KY. Selain itu, penolakan terhadap seluruh calon hakim agung akan berdampak pada terganggunya proses rekrutmen dan kaderisasi hakim agung, yang pada akhirnya dapat memperlambat proses peradilan dan menghambat penegakan hukum di Indonesia.
Prof. Edi mengusulkan bahwa dalam proses fit and proper test oleh DPR, sebaiknya melibatkan pihak independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan panitia yang independen untuk memastikan proses seleksi yang lebih objektif dan bebas dari kepentingan politik.
Hakim agung yang ideal haruslah seseorang yang berintegritas tinggi, berkompeten, dan memiliki akhlak yang baik. Dalam konteks ini, integritas hakim menjadi sangat penting untuk menjaga keadilan dan menjalankan hukum dengan benar tanpa terpengaruh oleh tekanan politik atau kepentingan lain di luar kekuasaan kehakiman.
Kesimpulan
Penolakan DPR terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY membuka kembali perdebatan tentang hubungan antar lembaga dan pengaruh politik dalam seleksi hakim. DPR sebagai lembaga politik harus berhati-hati agar tidak terlalu jauh mengintervensi proses seleksi yang seharusnya objektif dan independen. Melibatkan pihak independen seperti KPK dan panitia seleksi yang transparan adalah salah satu solusi untuk menghindari politisasi dalam proses ini. Pada akhirnya, yang terpenting adalah terpilihnya hakim agung yang berintegritas tinggi, kompeten, dan adil, demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.
Narasumber: Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H. – Pakar Hukum Pidana dan Rektor Universitas Islam Bandung (UNISBA)
Program: Bincang Sudut Pandang Radio MQFM Bandung
• Live Streaming
Assalamu'alaykum Warohmatullah Wabarokatuh Sahabat MQ, silahkan dapat menyampaikan pertanyaan disini melalui WhatsApp MQFM