Peristiwa apapun yang terjadi adalah netral hukumya, yang menjadikan ia menjadi negatif atau positif hanyalah respon kita ketika menghadap peristiwa tersebut. Begitupun dengan  seseorang yang dihadapkan pada tantangan/ujian dalam keluarga, apakah kebaikan atau keburukan semuanya netral. Jika direspon dengan kelembutan hati, maka  berakibat positif, namun jika direspon dengan emosi maka berakibatnegatif.

Sebagai contoh, ketika anak sehat kemudian berlari kesana kemari direspon dengan kelembutan hati, maka efeknya akan positif, tetapi jika direspon dengan emosi, efeknyapun akan negative. Suami bekerja sampai malam direspon dengan kelembutan hati akan menjadi positif namun direspon dg emosi maka  akan terjadi hal yang negative. Isteri yang normal berkata banyak jika direspon dengan kelembutan hati akan berakibat positif, namun jika direspon dengan emosi akan berakibat negatif pula.

Lantas bagaimana agar hati lembut, agar senantiasa mempunyai respon yang positif ketika dihadapkan dengan ujian, seberat apapun itu?

Agar hati senantiasa lembut, tidak mudah berburuk sangka kepada orang, dan bertawakal kepada yang utamanya adalah memperbanyak dzikir. Dengan dzikir hati akan menjadi tenang,  dengan dzikir hati akan menjadi bersih, karena hati kita dibalut dengan asma-asma Allah. Namun jika hati kita tidak pernah atau sangat jarang berdzikir kepada Allah, maka bersiaplah hati kita membatu.

فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.

Sebuah kisah inspirasi menyikapi ujian dengan respon positif

Seorang  suami merasa bahwa karirnya sebagai seorang pegawai perusahaan swasta berada di ujung tanduk. Boss nya marah besar akibat proposal yang ia kirimkan tak sesuai dengan ajuan akhir clientnya. Bila clientnya membatalkan proyek miliaran akibat kesalahannya maka boss nya telah mewanti-wanti akan memberikan sanksi pemecatan yang akan ia terima.

Ditengah kondisinya yang seprti itu, maka saat itu yang ia rindukan untuk tempat menenangkan hati, adalah  rumah dan kehangatan istri dan anaknya. Maka saat itu pula bergegas ia pulang ke rumah berharap mendapat ketenangan.

Semua harapannya pupus, ketika hal pertama yang ia temui di rumah adalah rentetan keluhan istri tentang kenakalan buah hatinya, rumah berantakan, perabotan tak tentu arah dan tak satu pun makanan terhidang di meja makan. Saat itu ia ingin sekali marah, tapi, istrinya terlebih dahulu menghujaninya dengan tangisan cengeng, ia mengeluhkan tentang kesusahannya merawat si bungsu yang rewel karena demam dan kenakalan si sulung yang tak pernah bisa diam.

Dalam hatinya ia ingin membentak sang istri, memakinya dengan sebutan istri tak becus dan tak tahu diri. Yang ia ingin ketenangan di rumah karena telah mendapatkan masalah di kantor,  namun justru kekesalan yang ia temukan. Ia merasa rumah bukan lagi tempat untuk pulang. Namun perlahan ia menarik napas, dan menyimpan semua amarahnya, ia memeluk sang istri dan berkali kali mengucapkan kata cinta dan sabar pada wanita yang telah lima tahun ia nikahi.

Malam itu, dengan dompet yang hanya tersisa satu lembar uang berwarna merah ia mengajak keluarganya makan bakso di luar, tak jadi amarah itu ia luapkan, ia memilih untuk mendinginkan rasa panas yang meluap dan berdamai dengan keadaan.

Saat itupun istrinya senang dan anak-anaknya pun riang, karena suaminya sangat pengertian dan lantas mengajak dirinya untuk berjalan-jalan keluar. Dalam perjalanan pulangnya pun istrinya tak henti bersenandung riang dan kedua buah hatinya berceloteh riang.

Saat itu sang suami hatinya terasa lebih lapang apalagi ketika melihat kegembiraan sang istri, dan anak-anaknya, apalagi ketika sang istri mengecup keningnya berkali kali sebelum tidur dan memanjatkan do’a demi kebaikannya. Saat itu ia tak mau tahu hari esok, setidaknya malam itu ia telah menyenangkan orang yang ia sayangi.

Keesokan paginya sebuah panggilan beruntun dari bos nya mengejutkan, ia sudah menduga bos akan menghubungi namun tak mengira akan secepat itu. Dipecat, bukan lagi hal yang ia takutkan, ia lebih legowo kini.

“Rudi, ke kantor sekarang, (ucap sang bosnya dalam telepon). Gila, client kita kali ini bener-bener buat orang jantungan, kemaren dia bilang proposal yang kamu buat gak sesuai konsep eh subuh tadi dia kontak aku dan bilang kalau proposalmu itu brilian. Dia deal mau tanda tangan kontrak pagi ini, Miliaran tau gak…..!!!!!” Boss nya menjelaskan dengan berapi-api.

“Ini beneran, Boss?” ucap rudi  (ia bertanya tak percaya).

“Emang aku kelihatan bohong? (ucap bosnya) Setelah tanda tangan oke, saya tranfer bonus ke kamu tiga puluh juta….. biar kamu yakin, ha ha ha……”

Boss nya mengakhiri pembicaraan di ujung telpon dengan gelak tawa.

Sahabat MQ, dari cerita diatas, kita mendapatkan hikmahnya, bahwa hidup adalah sebuah pilihan apakah kita akan memilih memperdalam lubang masalah atau menyelesaikannya.

Bisa saja pada cerita diatas si suami memilih memaki istrinya dan melampiaskan masalah di kantornya pada sang istri dan anak, Tapi ia memilih untuk tak menambah ranting persoalan hidup. Kita tak pernah tahu doa tulus mana yang mengantarkan kita pada kesuksesan, atau rintihan duka siapa yang menyeret hidup kita pada jurang kesengsaraan.

Bila hidupmu terasa berat di tempat kerja maka buatlah ringan ditengah keluargamu. Hari dimana di tempat kerja kau merasa berat, tertekan maka ketika pulang belilah es krim dan martabak manis untuk istri dan anakmu, senyum mereka akan meringankan harimu.

Bila manusia saja tersentuh dengan kebaikanmu lalu bisa kau bayangkan Allah yang maha baik yang akan menghampiri mu. Masalah datang ketika kita hidup dan akan terus datang sejalan dengan detak jantung, tapi yang membedakannya adalah cara kita menyelesaikannya.