Dalam buku Abdul Mustaqim dengan judul Akhlak Tasawuf Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati (2013:81) dikatakan bahwa, secara bahasa ikhlas berarti murni (al-shafi) dan bersih dari campuran. Hakikat ihklas adalah al-tabarri ‘an kulli ma dunallah, bebas dari apa yang selain Allah. Artinya seseorang beribadah hanya mengharap ridha Allah SWT, bukan karena mengharap pujian makhluk. Satu hal yang perlu dipahami bahwa ikhlas berkaitan erat dengan niat dalam hati seseorang ketika beribadah. Ikhlas yang sempurna harus dilakukan baik sebelum, sedang, dan sesudah beribadah. Sebab ada orang yang ikhlas ketika beribadah, tetapi setelah itu ia terjebak sikap riya’ (pamer), maka rusaklah nilai ibadahnya.

Secara kategoris, ikhlas dapat dibagi menjadi dua, pertama : ikhlas dalam beramal atau beribadah. Artinya kita berniat ikhlas dalam beramal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengagungkan perintah-Nya, memenuhi panggilan-Nya. Kedua, ikhlas dalam mencari pahala, yaitu suatu keinginan untuk menggapai keselamatan di akhirat dengan cara melakukan amal shaleh. Dengan kata lain, amal kebajikan sebenarnya dapat diiringi dengan dua keikhlasan : ikhlas beribadah karena Allah dan ikhlas beribadah karena memohon pahala akhirat.

Sikap Ikhlas mempunyai kaitan erat dengan niat. Karena adanya sifat ikhlas tergantung pada niatnya. Ketika dalam ibadah seseorang berniat hanya karena Allah SWT (Lillahita’ala), maka akan muncul sifat ikhlas di dalam hatinya, sebaliknya ketika ada campuran di dalam niatnya seperti agar dipuji, mendapat imbalan, dan lain sebagainya maka tidak akan muncul sifat ikhlas di dalam hatinya.

Sahabat MQ, memang terasa sulit menanamkan rasa ikhlas dalam hati kita, sebab terkadang ketika melakukan perbuatan selalu terbesit dalam hati merasa tidak ikhlas dan ingin mendapat  balas. Rasa ikhlas itu tiada batas, hati yang ikhlas akan membawa kita pada ketentraman yang tuntas. Jika seseorang menolong orang lain dengan niat agar mendapat balasan dikemudian harinya, maka seseorang tersebut akan terus berharap mendapat balasan, padahal belum tentu orang yang dibantunya mampu untuk membalas. Hal tersebut harus dijauhkan dalam diri kita. Menolonglah tanpa pamrih, memberi tanpa harap dipuji, beribadah bukan untuk terlihat sholeh atau sholehah, lakukan segala amal baik hanya karena Allah, sebab Allah yang mengatur hati manusia di seluruh dunia.

Al-Qur’an juga telah mengatur rasa ikhlas dalam hati manusia. Al-Qur’an merupakan petunjuk dan undang-undang yang harus ditaati dan diamalkan oleh setiap muslim. Al-Qur’an adalah risalah yang hidup dan selalu urgen hingga hari akhir, oleh karena itu pintu penafsiran al-Qur’an harus selalu dibuka dan jangan pernah ditutup. Sisi lain al-Qur’an sebagai sumber dan penggerak kaum muslimin dalam mengaplikasikan ajaran serta tuntunan hidup mereka, memotivasi munculnya penafsiran di setiap masa merupakan keniscayaan yang tak terelakkan, jika merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah, akan ditemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. Firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 46:

أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ

Terjemah: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan, sedangkan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam ikhlas, karena keikhlasan merupakan buah dan intisari dari iman, seseorang tidak dianggap beragama dengan benar sebelum hatinya ikhlas. Al-Qur’an adalah kitab mukjizat yang kekal abadi yang merupakan sumber undang-undang Rabani yang membahas aspek kehidupan. Salah satu sifat yang agung dari sekian sifat Rabani adalah ikhlas yang merupakan pondasi dari keimanan kita. Ikhlas adalah melaksanakan amal kebajikan hanya semata-mata karena Allah swt sebab ikhlas bagaikan ruh bagi segala amal yang bernilai di sisi Allah.

Hal-Hal Yang Merusak Keikhlasan

Sahabat MQ, dalam beberapa waktu, seseorang terkadang dapat beribadah dengan penuh keikhlasan. Namun selang beberapa saat, ia mulai terjangkit sifat yang bisa merusak keikhlasan. Padahal hal itu akan menjadi hijab menuju jalan Allah SWT. Seseorang hendaknya selalu waspada terhadap munculnya sifat-sifat dan penyakit hati yang dapat menggerogoti keikhlasan dalam beribadah. Ia harus berusaha menjauhinya sehingga amal ibadahnya benar-benar murni karena Allah SWT.

Hal-hal yang dapat merusak keikhlasan antara lain :

Bersikap riya’

yaitu memamerkan amal ibadah karena ingin mendapat pujian dari orang lain. Al-Qur’an mencela orang yang beribadah tetapi suka pamer (riya’). Allah SWT berfirman “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya” (QS al-Ma’un 4-6)

Bersikap ujub

Ujub dalam bahasa arab yang pengertiannya secara umum adalah membanggakan diri sendiri merasa heran terhadap diri sendiri sebab adanya satu dan lain hal. Hati manusia yang ujub, disaat ia merasa ujub adalah buta sehingga ia melihat dirinya sebagai orang yang selamat padahal ia adalah celaka, ia melihat dirinya sebagai orang yang benar padahal ia adalah salah. Orang yang ujub selalu meremehkan atas perbuatan dosa yang dilakukan dan selalu melupakan dosa yang telah diperbuatnya, bahkan hatinya buta sehingga melihat perbuatan dosa yang dilakukan sebagai perbuatan bukan dosa dan selalu memperbanyak perbuatan dosa itu. Orang yang ujub selalu mengecilkan perasaan takutnya kepada Allah SWT dan kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. (Hawwa, Said, Tazkiyatun Nafs, penerjemah Tim Kuwais: (Abdul Amin, Rusyadi, Musdar, (2010: 231).

Merasa puas terhadap amal ibadah dan tertipu olehnya

Ini juga dapat merusak keikhlasan dalan beribadah. Sikap seperti ini hanya bisa sembuh dengan cara mengetahui aib (cacat) yang ada dalam perbuatan. Karena sedikit sekali suatu perbuatan yang benar-benar bisa selamat dari bisikan setan. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh merasa puas dengan amal ibadahnya, melainkan harus selalu ada yang kurang dalam ibadah, sehingga muncul sikap taubat dan upaya terus menerus untuk memperbaiki kualitas ibadahnya.

Ingin dipuji dan ingin popular (hubb al-madh wa al-syuhrah)

Orang yang memiliki dua sifat seperti ini sulit untuk beramal dengan ikhlas dan pada saat yang bersamaan ia juga takut dicela oleh orang lain. Dia beramal li ajlin nas, karena manusia, bukan karena Allah. Penyakit hati tersebut dapat disembuhkan dengan cara kita tidak boleh haus pujian dari orang lain.

Sahabat MQ, semoga Allah melindungi kita semua dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan. Berjiwa ikhlas dalam melaksanakan segala aktivitas, akan menambah semangat melakukan kegiatan, akan membuat diri untuk terus berprestasi dan berdedikasi, sebab dorongannya hanya mengharap pahala dan ridha Allah swt .