parlemen

MQFMNETWORK.COM, Bandung – Mahkamah Konstitusi atau MK menghapus ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen yang selama ini diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu. Para hakim konstitusi sepakat bahwa ketentuan ambang batas parlemen itu tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu dan melanggar kepastian hukum yang telah dijamin konstitusi.

Dalam sidang uji materiil UU Pemilu yang digelar di gedung MK, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan pasal 414 ayat 1 yang mengatur ambang batas parlemen 4 persen itu masih berlaku untuk pemilu 2024. Sebelumnya, pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 seperti tertuang dalam UU Pemilu, ditetapkan bahwa untuk mendapatkan kursi di parlemen partai politik harus memperoleh sekurang-kuranya 4 persen dari total perolehan suara sah nasional, hal tersebut berlaku untuk semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Pakar Komunikasi Politik Universitas Negeri Surabaya, Muhammad Danu Winata, S.Sos, M.A, M.Si berpandangan bahwa angka 4 persen merupakan suatu angka yang membatasi proses demokrasi secara legaliter. Hal tersebut akan berdampak pada mematikan tokoh-tokoh potensial namun suara partai politiknya tidak signifikan.

Danu menilai bahwa keputusan penghapusan ambang batas 4 persen tersebut sudah tepat. Karenanya keputusan MK tersebut akan berlaku di tahun 2029 mendatang dan tidak diterapkan di tahun ini, hal tersebut agar tidak ada kepentingan dari salah satu pihak. Keputusan tersbeut juga akan menjadi angin segar bagi tokoh-tokoh yang tidak memiliki partai besar namun memiliki karakter kepemimpinan yang baik.

Pakar Komunikasi Politik Universitas Negeri Surabaya, Muhammad Danu Winata, S.Sos, M.A, M.Si

Sistem yang diterapkan dengan adanya ambang batas tersebut, sejauh ini menurutnya, masih ada celah yang membuat masyarakat tidak percaya dengan sistem yang ada. Karena keterwakilan dari suara tersebut tidak diterapkan dengan optimal. Namun dengan penghapusan ambang batas tersebut, maka peluang keterwakilan akan semakin lebar.

Jika berkaca dengan negara lain, Indonesia menganut pada tingkat keterwakilan masyrakat yang cukup tinggi, sehingga partai politik dapat menjadi medium untuk menyuarakan suara rakyat. Di tengah kondisi geografis Indonesia yang beragam, dengan adanya pembatasan 4 persen, maka dapat menutup peluang potensi yang dimiliki dari masing-masing tokoh daerah yang maju dalam kontestasi elektoral.

Dengan adanya keterbatasan angka suara 4 persen tersebut, maka partai yang baru akan terbatasi suaranya karena kalah dengan partai yang sudah memiliki nama besar. Sementara apa yang diusung akan merepresentasikan keterwakilan suara rakyat untuk maju di parlemen. Dengan sistem Indonesia yang menjunjung tinggi keterwakilan, maka akan menguntungkan partai yang belum mencapai akang suara 4 persen.

Tentunya, regulasi yang diterapkan harus diatur dan harus benar-benar dikawal secara ketat, agar dapat memastikan apabila suara belum mencapai 4 persen, masih memiliki potensi untuk mendapatkan keterwakilan. Karena jika diterapkan aturan tersebut, Danu menuturkan bahwa distribusi kekuasan tidak akan cenderung elitis, tidak tersekat dari awal, dan harus memberikan peluang kedapa masyarakat.

Disamping itu, terdapat juga ancaman yang dapat terjadi, mulai dari adanya konspirasi politik, manipulasi dalam membuat aturan, hingga intervensi Lembaga Konstitusi. Karenanya ancaman pasti ada, namun keterlibatan masyrakat akan sangat berpengaruh.

Harus melihat juga bahwasanya partai politik adalah lembaga yang seharusnya memegang aspirasi masyarakat. Sehingga Masyarakat harus terus memantau dan mengawal adanya kebijakan yang ada tersebut.